Lihat ke Halaman Asli

Partai Politik & Partisi Sistem Kebudayaan Politik

Diperbarui: 18 September 2024   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antara. News.

Partai Politik & Partisi Sistem Kebudayaan Politik: Sebuah Analisis Kritis.

Dalam lanskap perpolitikan Indonesia di masa yang menganut realitas, kontemporer, partai politik memainkan peran sentral sebagai jembatan antara aspirasi masyarakat dan mekanisme pemerintahan. Namun, keberadaan partai politik juga menciptakan partisi dalam sistem kebudayaan politik, yang dapat membawa dampak positif maupun negatif terhadap demokrasi dan kohesi sosial. Esai ini akan mengeksplorasi hubungan kompleks antara partai politik dan partisi sistem kebudayaan politik, serta implikasinya terhadap masyarakat modern. 

Partai politik, sebagaimana didefinisikan oleh Sartori (1976), adalah "kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan mampu menempatkan kandidatnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik." Fungsi utama partai politik mencakup agregasi kepentingan, artikulasi kebijakan, rekrutmen politik, dan sosialisasi politik (Almond & Powell, 1966). Namun, dalam menjalankan fungsi-fungsi ini, partai politik seringkali menciptakan garis pemisah ideologis dan kultural yang dapat membelah masyarakat.

Partisi sistem kebudayaan politik merujuk pada pembagian masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan afiliasi politik, ideologi, atau identitas kultural yang terkait dengan politik. Fenomena ini dapat diamati dalam konsep "polarisasi politik" yang semakin menonjol dalam beberapa dekade terakhir (Iyengar et al., 2019). Polarisasi ini tidak hanya termanifestasi dalam preferensi kebijakan, tetapi juga dalam identitas sosial dan bahkan pilihan gaya hidup. Di satu sisi, partisi politik dapat dilihat sebagai manifestasi pluralisme yang sehat dalam masyarakat demokratis. Seperti yang diargumentasikan oleh Dahl (1956), kompetisi antara kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda adalah inti dari demokrasi. Partai politik, dalam konteks ini, berfungsi sebagai saluran untuk mengekspresikan keragaman pandangan dan kepentingan dalam masyarakat.

Namun, ketika partisi politik menjadi terlalu dalam dan kaku, ia dapat mengancam kohesi sosial dan stabilitas demokrasi. Sunstein (2002) memperingatkan tentang bahaya "enclave deliberation," di mana individu hanya berinteraksi dengan orang-orang yang sepaham, memperkuat keyakinan mereka sendiri dan meningkatkan polarisasi. Fenomena ini semakin diperparah oleh media sosial dan algoritma yang menciptakan "echo chambers" (Pariser, 2011).

Lebih jauh lagi, partisi yang tajam dalam sistem kebudayaan politik dapat menghalangi dialog konstruktif dan kompromi yang diperlukan untuk mengatasi tantangan kolektif. Habermas (1984) menekankan pentingnya "ruang publik" di mana warga negara dapat terlibat dalam diskusi rasional terlepas dari afiliasi politik mereka. Namun, partisi yang berlebihan dapat mengikis ruang publik ini, menggantikannya dengan pertarungan partisan yang tidak produktif. Untuk mengatasi dampak negatif dari partisi politik, beberapa sarjana telah mengusulkan berbagai solusi. Putnam (2000) menekankan pentingnya membangun "modal sosial" melalui keterlibatan sipil yang melampaui batas-batas partisan. Sementara itu, Mutz (2006) mengadvokasi pentingnya "cross-cutting exposure" - paparan terhadap pandangan politik yang berbeda - untuk mengurangi polarisasi dan meningkatkan toleransi politik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline