Lihat ke Halaman Asli

Beyond Reasonable Doubt, Sebagai Fakta Secara Prinsip.

Diperbarui: 5 September 2024   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fakta, Pembuktian, dan Epistemologi dalam Hukum: Menelusuri Batas antara Prinsip dan Aturan.



Dalam diskursus hukum kontemporer, pertanyaan tentang status epistemologis fakta dan pembuktian terus menjadi topik yang menarik perhatian. Apakah konsep-konsep ini merupakan sekadar "rules" atau "aturan" prosedural, ataukah mereka sesungguhnya adalah "prinsip-prinsip epistemologis" yang lebih fundamental? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelisik beberapa konsep kunci dan pemikiran dari berbagai tokoh.


Rokcy Gerung : "Beyond Reasonable Doubt" dan Standar Pembuktian.


Konsep "Beyond Reasonable Doubt" atau "di luar keraguan yang beralasan" adalah standar pembuktian dalam hukum pidana yang mengharuskan jaksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Ini bukan sekadar aturan prosedural, melainkan mencerminkan prinsip epistemologis yang mendalam: bahwa kita harus sangat yakin tentang fakta-fakta sebelum mengambil keputusan yang dapat mengubah hidup seseorang. Rocky Gerung, seorang filsuf dan pengamat sosial Indonesia, sering menekankan pentingnya fakta dan bukti dalam diskursus publik dan hukum. Meskipun konteksnya sering politik, argumennya relevan dengan epistemologi hukum. Gerung mungkin akan berpendapat bahwa fakta dan bukti bukan sekadar alat prosedural, melainkan fondasi epistemologis untuk membangun kebenaran dan keadilan.

Teori Kebenaran Korespondensi dan Implikasinya.

Teori Kebenaran Korespondensi menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas. Dalam konteks hukum, ini berarti bahwa keputusan hukum harus berkorespondensi dengan fakta-fakta yang dapat diverifikasi di dunia nyata. Ini lebih dari sekadar aturan; ini adalah prinsip epistemologis yang mendasari seluruh proses peradilan.

"Cawe-cawe" dan Intervensi dalam Proses Hukum ?

Istilah "cawe-cawe" dalam bahasa Jawa, yang secara kasar berarti "ikut campur", dapat digunakan untuk menggambarkan intervensi yang tidak semestinya dalam proses hukum. Ini menimbulkan pertanyaan epistemologis: bagaimana kita dapat memastikan bahwa fakta dan bukti yang disajikan dalam pengadilan benar-benar objektif dan bebas dari manipulasi ? implikasi cawe-cawe belakangan yang saya pahami, adalah mengacu, pada Konsep "Beyond Reasonable Doubt" atau "di luar keraguan yang beralasan" adalah standar pembuktian dalam hukum pidana yang mengharuskan jaksa untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Namun, dalam konteks ini adalah dimana logikanya harus dibaca terbalik, dimana keraguan yang beralasan, menjadi suatu fakta dan bukti hukum terkait tidak adanya, suatu keraguan yang tidak beralasan. dalam konteks persoalan "cawe-cawe".

sebagai, analogi sederhana, adalah :

A : "Bahwa meragukan jika pencuri mangga, adalah selain si a"

Q : Lalu, kenapa si a harus diragukan dengan menyebutnya sebagai pencuri ?"

Bahwa, keraguan tersebut, kemudian, menjadi beralasan sebagai bukti, di luar keraguan yang beralasan. Atas, tidak adanya keraguan yang tidak beralasan. Sebab si a bukanlah pemilik mangga, sebagai dalil keraguan yang tidak diragukan secara prinsipil dalam fakta dan pembuktian yang menyikapi keraguan tersebut, maka, pelaku sebenarnya, di luar pelaku yang sebenarnya, adalah pelaku sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline