Lihat ke Halaman Asli

Skandal Asusila Logiskah?

Diperbarui: 15 Agustus 2024   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CNBC Indonesia / Muhammad Sabki.

"Skandal Seks (Asusila) Mantan, Ketua KPU, Logiskah ?" 

Bagaimana juga Skandal Asusila seksual bukanlah suatu yang logis, dalam hal apakah demokrasi telah kehilangan "akal sehatnya ?"

Media asing menyoroti skandal seks yang terjadi terkait mantan Ketua KPU Hasyim Asyari. Ia dipecat 3 Juli lalu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena tindakan asusila.

Channel News Asia (CNA) misalnya, memuat berita berjudul "Indonesia's election commission chairman sacked over sexual harassment; no disruption expected for November's regional polls". Dalam rangkuman pemberitaannya ditulis Hasyim bersalah atas pelecehan seksual di Den Haag Belanda dan segera diganti karena masalah itu [Demikian, yang dikutip dari halaman berita CNBC Indonesia - 05 July 2024 17:00].

Parameter Moral Pejabat Publik:

Refleksi atas Skandal dan Etika.

Dalam konteks skandal yang melibatkan mantan ketua KPU, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang parameter moral yang diharapkan dari pejabat publik. Kasus ini membuka diskusi yang lebih luas tentang etika, integritas, dan standar perilaku yang kita terapkan pada mereka yang memegang jabatan penting dalam masyarakat.

Memahami Konteks.


1. Peran Strategis KPU 
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki peran krusial dalam menjaga integritas proses demokrasi. Ketua KPU, sebagai figur publik, memikul tanggung jawab besar tidak hanya dalam hal profesionalisme tetapi juga dalam hal integritas pribadi. 2. Ekspektasi Publik: Masyarakat cenderung memiliki ekspektasi moral yang tinggi terhadap pejabat publik, terutama mereka yang mengemban tugas penting seperti menyelenggarakan pemilu. 3. Dampak Skandal : Skandal yang melibatkan pejabat tinggi dapat memiliki dampak luas, tidak hanya pada reputasi individu tetapi juga pada kepercayaan publik terhadap institusi yang diwakilinya.

Skandal yang melibatkan pejabat publik, termasuk kasus mantan ketua KPU, menyoroti kompleksitas dalam menentukan dan menerapkan parameter moral bagi mereka yang memegang jabatan publik. Sementara kita menuntut standar etika yang tinggi, penting juga untuk mempertimbangkan nuansa dan konteks dalam setiap kasus. Logika di balik tuntutan moral yang tinggi terhadap pejabat publik berakar pada kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka. 

Namun, kita juga perlu mewaspadai potensi standar ganda dan pengadilan publik yang terburu-buru. Akhirnya, membangun dan memelihara integritas dalam pelayanan publik adalah tanggung jawab bersama. Ini membutuhkan komitmen tidak hanya dari para pejabat itu sendiri, tetapi juga dari sistem yang mengatur mereka, media yang mengawasi, dan masyarakat yang menilai. Dengan pendekatan yang seimbang dan reflektif, kita dapat berharap untuk meningkatkan standar etika dalam pelayanan publik sambil tetap menghormati kompleksitas kondisi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline