Semir Sepatu Tuhan. [Bagian Kedua].
Seorang wazir berjalan angkuh di pasar Baghdad yang ramai. Jubahnya yang mewah menyapu debu jalanan, kontras dengan para pedagang dan pekerja sederhana di sekelilingnya. Matanya tertuju pada seorang tukang semir sepatu yang sedang bekerja di sudut pasar.Entah apa yang memicu amarahnya, tiba-tiba wazir itu berteriak lantang, "Kafir kau!" kepada si tukang semir yang malang. Suaranya menggelegar, membuat orang-orang di sekitar terkejut dan menoleh.
Berita tentang insiden ini menyebar cepat bagaikan api di padang rumput kering. Tak lama kemudian, kabar itu sampai ke telinga sang Khalifah. Penguasa yang bijaksana itu murka mendengar salah satu pejabat tingginya berlaku kasar dan menghina rakyat jelata.Tanpa menunda, Khalifah memanggil sang wazir ke istana. Di hadapan para penasihat dan pejabat lainnya, ia menegur keras tindakan tidak terpuji wazir tersebut. Sang Khalifah mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus menjaga lisannya dan menghormati semua rakyat, tanpa memandang status sosial mereka.Sebagai hukuman dan pelajaran, Khalifah memerintahkan wazir itu untuk meminta maaf langsung kepada si tukang semir dan mengabdi di pasar selama sepekan. Peristiwa ini menjadi pengingat bagi semua bahwa kemuliaan seseorang bukan ditentukan oleh jabatan, melainkan oleh akhlak dan perilakunya terhadap sesama.
Dan, Abunawas menjawab dengan bijak, "Yang Mulia, dalam menegakkan keadilan, kita harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, tingkat pendidikan dan pemahaman si tukang semir. Ia mungkin tidak memahami implikasi teologis dari ucapannya. Kedua, reaksi sang wazir yang terdidik namun kurang bijaksana dalam menanggapi."Ia melanjutkan, "Seorang yang berilmu memang memiliki tanggung jawab lebih besar. Namun, bukankah tugas kita untuk mendidik mereka yang kurang paham, bukan menghardik?"
Khalifah mengangguk, memahami maksud Abunawas. "Lalu, apa saranmu?"
Kemudian berkata, "Yang Mulia," kata Abunawas, "alangkah baiknya jika wazir diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Biarkan ia mengajarkan makna tauhid yang benar kepada si tukang semir, sekaligus belajar kesabaran dan kebijaksanaan dalam berdakwah."Khalifah tersenyum, "Sungguh bijak saranmu, Abunawas. Kita akan memberi kesempatan kepada wazir untuk menebus kesalahannya dengan ilmu dan kelembutan, bukan dengan hardikan dan hukuman."Demikianlah, sang wazir pun diperintahkan untuk kembali ke pasar. Kali ini bukan untuk menghardik, melainkan untuk mengajar dengan lemah lembut. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak: bahwa ilmu tanpa kebijaksanaan bagaikan pedang tajam tanpa sarung, dan kebodohan bukanlah dosa yang tak terampuni, melainkan kesempatan untuk berbagi pengetahuan.
Bandar Lampung, 16/07/2024.
A.W.E.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H