Lihat ke Halaman Asli

Pretensi Alamiah Etika - Moral Sebagai Ekspresi, atau Kesadaran Atas Nilai Murni ?

Diperbarui: 17 Juli 2024   06:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Prinsip Akal Murni Sebagai Suatu Problem Kritik Etika Yang Mendasar Pada Pretensi Alamiah Bagi Diri Manusia: Otensitas & Kesadaran Dalam Kebaikan Dalam Hasrat Yang Murni

Oleh :A.W. al-faiz

Pendahuluan

Dalam diskursus filosofis, konsep akal murni (pure reason) telah lama menjadi subjek perdebatan dan analisis. Immanuel Kant, dalam karyanya "Critique of Pure Reason" (1781), mengeksplorasi batas-batas dan kemampuan akal manusia dalam memahami realitas. Namun, ketika kita mengaitkan prinsip akal murni dengan etika, muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bagaimana hal ini berhubungan dengan sifat alamiah manusia, otentisitas, dan konsep kebaikan. Esai ini akan mengeksplorasi hubungan kompleks antara akal murni, kritik etika, dan aspek-aspek fundamental dari keberadaan manusia.

Akal Murni dan Pretensi Alamiah

Kant berpendapat bahwa akal murni adalah kemampuan manusia untuk memahami dunia melalui konsep a priori, terlepas dari pengalaman empiris. Namun, ketika kita mempertimbangkan etika, muncul pertanyaan: apakah akal murni cukup untuk memahami dan mengartikulasikan prinsip-prinsip moral?

Pretensi alamiah manusia -- kecenderungan kita untuk mengklaim pemahaman atau pengetahuan yang mungkin melampaui batas-batas kognitif kita -- menjadi problem yang signifikan. Seperti yang diungkapkan oleh filosof kontemporer Jrgen Habermas, ada ketegangan antara klaim universalitas yang dibuat oleh akal dan partikularitas pengalaman manusia (Habermas, 1990).

Kritik Etika dan Otentisitas

Kritik etika yang mendasar muncul ketika kita mempertanyakan apakah prinsip-prinsip moral yang diturunkan dari akal murni benar-benar mencerminkan kebenaran etis atau hanya konstruksi mental kita. Martin Heidegger, dalam karyanya "Being and Time" (1927), menekankan pentingnya otentisitas -- kemampuan untuk hidup sesuai dengan sifat sejati seseorang, terlepas dari tekanan sosial atau konvensi.

Pertanyaannya kemudian menjadi: bagaimana kita dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip etika yang kita pegang benar-benar otentik dan bukan hanya hasil dari conditioning sosial atau rasionalisasi? Charles Taylor, dalam "The Ethics of Authenticity" (1991), berpendapat bahwa otentisitas tidak harus bertentangan dengan moralitas universal, tetapi dapat menjadi sumber kekuatan moral.

Kesadaran dan Kebaikan dalam Hasrat yang Murni

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline