Esai.
Profetik? : Kedudukan "Public Speaker" dalam Wacana Bernegara. - Sebuah Wacana Publik.
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz, S.Ip
Di tengah arus informasi yang semakin deras dan kompleks, peran seorang public speaker dalam membentuk wacana bernegara menjadi semakin krusial. Mereka bukan sekadar penyampai pesan, melainkan juga pemandu opini yang mampu mengarahkan diskursus publik ke arah yang lebih konstruktif dan visioner. Dalam konteks kenegaraan Indonesia yang sedang berproses menuju demokrasi yang lebih matang, kehadiran public speaker yang berkualitas menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagai negara dengan beragam suku, agama, dan budaya, Indonesia memerlukan figur-figur yang mampu menjembatani perbedaan dan membangun narasi persatuan. Di sinilah public speaker memainkan peran profetiknya. Mereka dituntut untuk tidak hanya fasih dalam beretorika, tetapi juga memiliki wawasan yang luas, integritas yang tinggi, dan kepekaan sosial yang tajam. Seorang public speaker sejati harus mampu membaca tanda-tanda zaman, mengantisipasi tantangan masa depan, dan mengartikulasikan visi yang menginspirasi.
Dalam konteks Pancasila sebagai dasar negara, public speaker memiliki tanggung jawab untuk terus menghidupkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mereka harus mampu menerjemahkan abstraksi filosofis Pancasila ke dalam bahasa yang dapat dipahami dan diresapi oleh seluruh lapisan masyarakat. Lebih dari itu, mereka juga berperan sebagai katalisator yang mendorong implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, peran profetik public speaker tidak berhenti pada tataran wacana. Mereka juga dituntut untuk menjadi agen perubahan yang aktif dalam masyarakat. Melalui kata-kata yang diucapkan dan tindakan yang dilakukan, seorang public speaker harus mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan bangsa. Mereka harus berani menyuarakan kebenaran, mengkritisi kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat, dan menawarkan solusi-solusi inovatif atas berbagai permasalahan bangsa.
Di era digital yang sarat dengan informasi yang terdistorsi dan berita bohong, peran public speaker sebagai penjaga kebenaran menjadi semakin vital. Mereka harus mampu memilah informasi, menganalisis secara kritis, dan menyajikan fakta secara objektif kepada publik. Dalam hal ini, integritas dan kredibilitas menjadi modal utama yang harus dijaga dengan sepenuh hati.
Lebih jauh lagi, public speaker masa depan harus mampu melampaui batas-batas konvensional dan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif. Mereka harus membuka ruang dialog yang setara, di mana setiap suara dapat didengar dan setiap perspektif dihargai. Dengan demikian, wacana bernegara tidak lagi menjadi monopoli elit, tetapi menjadi milik bersama seluruh elemen masyarakat.
Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045, peran public speaker akan semakin menentukan. Mereka akan menjadi ujung tombak dalam membangun kesadaran kolektif tentang tantangan dan peluang yang dihadapi bangsa. Melalui narasi yang inspiratif dan motivatif, mereka akan membantu membangkitkan semangat juang dan optimisme masyarakat dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa.
Namun, dengan kekuatan besar yang dimiliki, seorang public speaker juga harus menyadari tanggung jawab etis yang menyertainya. Mereka harus senantiasa menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan kepentingan bersama. Kata-kata yang diucapkan harus dilandasi oleh kebijaksanaan dan kearifan, bukan semata-mata untuk mencari popularitas atau memenuhi agenda pribadi.