Lihat ke Halaman Asli

Kedudukan Perkara Alzaytun dalam Ruang Publik dan Undang-Undang Penistaan Agama

Diperbarui: 30 Juli 2023   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://kbbi.web.id/agama

KEDUDUKAN PERKARA ALZAYTUN; DALAM RUANG PUBLIK, ; DAN UNDANG-UNDANG PENISTAAN AGAMA DALAM, PARAMETER NOMINA, PRESFEKTIF; LINGUISTIK.

Tentu, saja hal yang terkait hal ini, deviasi atau suatu penyimpangan suatu sikap, moralitas dan etika kejelasan norma agama di dalam beragama, tidaklah, tepat sebagai suatu problematika yang mestinya di akomodasi oleh suatu ajaran, agama, secara normatif atau dalam tindakan yang nyata, dalam proporsi dan kapasitas seperti kelembagaan MUI, dalam pengertian, Majelis Ulama Indonesia yang berkonsentrasi pada pengembangan keilmuan agama, sebagai tenaga ahli, di bidangnya, melainkan, sebagian dari ranah tugas dari apratur negara, dalam memberi ruang stabilitas keamanan, setingkat kepolisian, dengan meminta pertimbangan ahli, di bidang tersebut, terkait persoalan ini, dan kelembagaan terkait yang memiliki kapasitas fungsional, fungsi kelembagaannya, yang kompeten, terhadap konsentrasi terhadap objek tersebut, terkait. Alih-alih, persoalan serius ini, tidaklah lagi membutuhkan, peran serta para mubaligh, dalam menyampaikan himbauan, terhadap konteks yang benar menurut suatu nilai ajaran agama tertentu.

Tidaklah, hanya sekedar ketidak-terpenuhan syarat, dari kelembagaan Al-zaytun, dalam kapasitas fungsi kelembagaan, dengan label pesantren, untuk menyebut diri mereka, sebagai pesantren. Ketika, mungkin saja secara administratif terkait izin kelembagaan tertentu, pada dinas kepemerintahan, dan kementerian, terkait akomodasi, perizinan dalam kategori tertentu, yang menyoal, keberadaan kelembagaan Al-zaytun. Dimana, dalam parameter, tradisi pesantren, justru, Al-zaytun, bertolak belakang dari arus kultur dan kebiasaan pesantren secara umum. Di tinjauan dari, peran, serta, dan pergulatan pesantren sebagai kelembagaan pendidikan yang mengacu pada suatu bentuk pendekatan metodelogi keilmuaan tertentu, di dalam nomenklatur dan literatur Islam yang ada.

Maraknya, Al-zaytun, sebagai fenomena dalam kapasitas isue, dan wacana agama, yang belakangan muncul, bersamaan dengan berlangsungnya proses pemilu. Yang dianggap sebagai bentuk lain dari pengalihan isue terhadap konstelasi politik, di tengah penyelenggaraan pemilu, sebagai sistem penyelenggaraan kepemimpinan nasional, di tingkatan kelembagaan negara. 

 Terutama, hal ihwal Al-zaytun, yang menjadi polemik, bagi keberlangsungan keberagamaan, di Indonesia. Yang tentunya tidak terlepas dari keruh dan kisruhnya, dugaan penistaan agama yang diatur dalam undang-undang, penistaan agama. Tidak kalah, menarik dimana MUI juga mengeluarkan, statement, terkait dengan keterpenuhan syarat, atas dugaan kesesatan, dan juga masih terkait dalam ihwal dugaan penistaan agama, oleh pimpinan pondok pesantren Al-zaytun, Panji Gumilang. Selain hal tersebut, di atas kemudian adalah labelisasi pesantren yang dilekatkan dalam kapasitas kelembagaan al-zaytun, mengacu kepada tradisi, dan nilai sentral, dari kultur pesantren sebagai kelembagaan pendidikan, yang dimaksud sebagaimana sebutan, pesantren, dalam kapasitas yang sesuai dengan sejarah, yang menjelaskan peran, dan serta, tradisi terkait pondok pesantren. Yang, setidaknya dapat dilihat selintas bahwa, Al-zaytun bukanlah kriteria terkait dengan labelisasi pesantren yang dimaksud, dalam kisruh polemik, terhadap isue, dan wacana yang bergulir terkait, status dari pernyataan-pernyataan, kontradiksi, dan kontraversi, yang di nyatakan Panji Gumilang dengan mengutip beberapa ihwal terkait, dalil, kita suci, dalam tradisi yang selama ini diyakini tidak demikian, keberadaannya, oleh kalangan masyarakat secara umum, dan meluas. 

Alih-alih, menyoal kembali undang-undang penistaan agama, dalam struktur bahasa dan tata bahasa, secara gramatikal, dalam struktur yang rancu, kacau, dan membingungkan, pada struktur makna yang berkemungkinan dapat dipahami, oleh logika akal sehat, dalam memahami keberadaan serta konteks, dari isi undang-undang tersebut bila, atau jika dilihat dari frase awal yang menyebut, mengenai delik tentang penistaan agama. Yang berkemungkinan, berisikan, kontradusir, dari pertentangan-pertentangan, yang jika, benar maka, hal ini adalah upaya yang sia-sia, terhadap cita-cita, kerukunan, dan toleransi beragama di Indonesia, dimana, logika-logika kontradiktif, tentunya akan berakhir, pada resultan nilai, yang nihil, dan nol, sebagai hasilnya, yang hanya menghabiskan anggaran negara dalam memberi ruang penegakan kebijakan tersebut, sebagai undang-undang terkait, akomodasi pemerintah, oleh negara, perihal agama, dan ummat beragama, di Indonesia, sebagai bagian dari pembanguanan nasional.

SEMANTIK CONFUSION.

Dalam, kamus besar bahasa Indonesia singular "agama" diletakan sebagai nomina, atau suatu subjek atau objek yang memiliki komposisi materil, dalam metrum bahasanya, sebagai kata benda, atau nomina.

KBBI

Dan, kemudian kata penistaan sendiri bukanlah suatu komposisi baku, dalam perubahan bentuk kata, yang dapat diartikan maknanya melalui afirmasi oleh KBBI yang artinya, makna tersebut secara kaidah bahasa Indonesia tidak dapat dipertangung jawabkan, secara kaidah, dan tidak dapat diketahui makna sebenarnya, dari apa yang disebut penistaan tersebut, dalam frase terkait kebijakan, undang-undang penistaan agama. Hal, ini juga secara implementatif linguistik tidak diketahui objeknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline