Jakarta, 17 November 2024 --- Dalam beberapa tahun terakhir, masalah kesehatan mental semakin menjadi perhatian utama di seluruh dunia, dengan prevalensi gangguan mental yang terus meningkat. Di tengah kemajuan teknologi digital yang pesat, dampak dari dunia maya terhadap kesejahteraan mental manusia, khususnya generasi muda, menjadi isu yang semakin relevan. Media sosial, kecanduan perangkat digital, dan perbandingan sosial yang terus menerus berkontribusi terhadap peningkatan kecemasan, depresi, dan stres. Dalam menghadapinya, banyak orang berusaha untuk menemukan kembali keseimbangan antara dunia digital dan kesehatan mental mereka.
Namun, untuk menyikapi fenomena ini dengan bijak, kita juga perlu mempertimbangkan perspektif filsafat yang bisa memberikan wawasan tentang kebebasan, identitas, dan makna hidup---tiga konsep yang sangat terkait dengan bagaimana kita memahami dan mengelola kesehatan mental di dunia modern ini.
1. Kebebasan dan Ketergantungan: Filsafat Sartre tentang Eksistensi
Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis asal Prancis, menekankan pentingnya kebebasan dalam hidup manusia. Dalam pandangannya, manusia pada dasarnya adalah "terkutuk untuk bebas" (condemned to be free), yang berarti bahwa kita memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan siapa kita dan bagaimana kita hidup. Kebebasan ini membawa tanggung jawab yang sangat besar, karena setiap keputusan yang kita buat menciptakan identitas kita sendiri.
Namun, kebebasan ini juga bisa menjadi beban. Dalam konteks dunia digital saat ini, kita sering kali merasa "terkutuk" oleh kebebasan tersebut---terutama dalam hal bagaimana kita menampilkan diri kita di media sosial, berinteraksi dengan orang lain, dan memenuhi ekspektasi yang tidak pernah kita tentukan sendiri. Kebebasan untuk memilih, yang seharusnya membawa kita pada pembebasan dan autentisitas, seringkali justru menciptakan ketegangan mental yang besar. Pengguna media sosial mungkin merasa terjebak dalam siklus perbandingan sosial dan pencarian validasi eksternal, yang pada gilirannya dapat memicu perasaan cemas dan ketidakpuasan.
Sartre mengajarkan bahwa meskipun kebebasan dapat terasa menakutkan, kita tetap bertanggung jawab atas bagaimana kita menghadapinya. Menggunakan kebebasan untuk menentukan identitas yang autentik, dan bukan hanya mengikuti norma yang ditetapkan oleh dunia maya, adalah langkah penting dalam menjaga kesejahteraan mental di era digital ini.
2. Identitas dan Alienasi: Pandangan Marx dan Weber
Filsuf Karl Marx dan Max Weber juga menawarkan wawasan yang relevan dalam konteks krisis kesehatan mental. Marx, dalam karya-karyanya tentang alienasi, menggambarkan bagaimana individu dapat merasa terasing dari diri mereka sendiri dalam masyarakat kapitalis yang menekankan produktivitas dan konsumsi. Di dunia digital, kita dapat melihat fenomena serupa di mana orang sering kali merasa terasing dari identitas sejati mereka karena tekanan untuk mempresentasikan versi "ideal" dari diri mereka di media sosial. Ini menciptakan jarak antara siapa mereka sebenarnya dan siapa mereka ingin dianggap oleh orang lain.
Max Weber, seorang sosiolog Jerman, berbicara tentang "rasionalisasi" dalam masyarakat modern, di mana sistem yang lebih efisien dan terstruktur---seperti media sosial dan algoritma---menyusun kehidupan kita dengan cara yang terorganisir namun mekanistik. Dalam dunia yang semakin digital ini, individu bisa merasa seperti bagian dari mesin besar yang mengontrol cara mereka berpikir, berperilaku, dan berinteraksi dengan orang lain. Perasaan teralienasi ini, akibat kehilangan rasa kontrol dan individualitas, sering kali berkontribusi pada gangguan kesehatan mental.
Dalam konteks ini, filsafat Marx dan Weber mengajak kita untuk mempertanyakan sistem sosial dan teknologi yang mendasari perilaku kita, serta mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan yang otentik dengan diri kita sendiri---suatu hal yang semakin sulit dilakukan di dunia yang serba terkontrol oleh algoritma dan sistem digital.
3. Mencari Makna dalam Kehidupan Digital: Perspektif Viktor Frankl