[caption id="attachment_292584" align="aligncenter" width="640" caption="Satu sudut di Footscray Market (Foto: AS)"][/caption]
Seorang kawan saya yang kebetulan bekerja menjaga satu toko buah di Melbourne punya cerita. Ada perbedaan antara pembeli dari negara Asia (baca: orang Asia) dan pembeli keturunan Eropa (baca: bule). Apa perbedaan itu? Bertanya saya. Dua perbedaan saja dulu ya, candanya.
Pertama, orang Asia jika mengambil buah dari rak tetapi berubah pikiran dan tidak jadi membelinya maka buahnya tidak dikembalikan ke rak semula. Buah ditaruh di mana saja dia sempat. Orang bule jika terlanjur mengambil buah lalu akhirnya tidak jadi membeli maka buah tersebut dikembalikan ke rak semula.
Kedua, kawan saya juga bercerita pengalamannya saat di tokonya ada diskon harga yang membuatnya tahu satu hal lain yang membedakan orang Asia dan orang bule. Dia mencontohkan, misalnya ada diskon untuk harga buah yang biasanya $5 dapat 3 buah menjadi $5 dapat 5 buah. Orang Asia biasanya akan membayar $5 dan mengambil ke-5 buah tersebut. Bahkan, terkadang ada yang setengah memaksa mengambil lebih dari 5 buah. Sebaliknya, orang bule meski tahu $5 bisa mengambil 5 buah mereka hanya mengambil 3 atau bahkan 2 buah saja. Kawan saya itu lalu bertanya, kenapa Cuma ambil 3? Bisa ambil 5 kok! Apa jawabnya? Saya butuhnya hanya 3 saja. Dia membayarnya tetap $5 tetapi hanya mengambil 3 buah.
Saya lalu merenung kedua perbedaan tersebut di atas. Menurut saya, perbedaanyang pertama mungkin bisa dijelaskan dari sudut pandang bagaimana seseorang memberikan penghargaan atas pekerjaan orang lain. Sebenarnya, pembeli yang tidak mengembalikan barang yang tidak jadi dibeli ke tempat semula tidak sungguh-sungguh salah. Jika menggunakan sudut pandang ‘pembeli itu raja’ maka pembeli boleh dong meminta pelayan toko yang mengembalikan barang tersebut ke raknya semula. Bukankah merapikan rak dan menaruh kembali barang-barang ke tempat semula adalah tugas pelayan toko. Toh, mereka dibayar salah satunya untuk pekerjaan itu. Demikian pandangan saya sebagai orang Asia.
Sudut pandang yang berbeda digunakan orang bule. Mereka tidak menempatkan pelayan toko hanya sebatas pelayan tetapi mitra. Dalam perspektif kemitraan pembeli dan pelayan toko memiliki derajat yang sama. Mereka akan meminta pelayanan yang maksimal seperti kualitas produk, informasi tanggal kadaluarsa barang, hingga penempatan label harga yang sesuai dengan barangnya. Pada saat mereka meminta pelayanan yang maksimal, para pembeli ini juga akan mengapresiasi pekerjaan pelayan toko, misalnya, dengan mengembalikan barang ke tempat semula jika batal dibeli.
Untuk perbedaan yang kedua memiliki perilaku yang berbeda sehingga menghasilkan perbedaan reaksi atas diskon harga buah. Ini hanya pengamatan sepintas saya saja belum sampai pada melakukan telaah mendalam kenapa orang bule mengambil 2-3 buah saja meski memungkinkan mengambil 5 buah dengan harga yang sama. Hasil pengamatan saya yang baru di permukaan ini menyimpulkan bahwa orang bule hanya membeli yang mereka butuhkan saja berdasarkan takaran kebutuhan tubuh mereka. Mungkin dengan mengambil 2-3 buah saja cukup memenuhi kebutuhan nutrisi dari unsur buah tersebut sehingga tidak perlu mengambil 5 buah sekaligus.
[caption id="attachment_292587" align="aligncenter" width="640" caption="(Foto: AS)"]
[/caption]
Nah, di sebagian kita, orang-orang Asia, khan berpikirnya kadang tidak begitu. Ya, mumpung lagi murah kita beli buahnya banyak-banyak. Makan sepuas-puasnya hingga lupa menimbang takaran kebutuhan tubuh. Padahal setiap makanan yang dikonsumsi mesti ditakar sehingga tubuh tidak kelebihan unsur makanan tertentu.
Soal ketatnya orang bule menakar makanan yang dikonsumsinya saya punya pengalaman. Sekali waktu, saya pernah dalam satu perjalanan dengan mahasiswi asal Jerman yang sedang melakukan penelitian di Makassar. Tiba makan siang saya menyodorkan teh kotak kepadanya. Tetapi teh kotak itu ditolaknya dan minta air putih sambil menjelaskan kepada saya bahwa tadi pagi dia sudah minum teh. Berdasarkan takaran yang dia ukur sendiri, unsur gula yang dikonsumsinya hari ini sudah cukup.
Kembali ke soal belanja. Menurut pengamatan saya orang bule dalam berbelanja buah selain menimbang aspek kebutuhan tubuh juga sisi kesegaran buah. Mereka jarang membeli banyak buah sekali pun sedang ada diskon besar-besaran. Mereka hanya membeli buah yang bisa dimakan saat masih segar dan bisa langsung habis. Membeli banyak buah tidak langsung habis berarti besoknya sudah berkurang kesegarannya.
Karena pertimbangan kesegaran itu pula sehingga toko buah kadang membanting harga saat buahnya tidak segar lagi. Malahan tidak saja banting harga, bila besoknya pasar tidak buka sementara stok buah masih banyak dan sudah tidak segar, akhirnya buah-buah tersebut dibuang.
[caption id="attachment_292588" align="aligncenter" width="640" caption="Satu sudut di Victoria Market (Foto: AS)"]
[/caption]
Di luar cerita kawan saya di atas tentang dua perbedaan cara orang Asia dan bule berbelanja, saya juga seringkali menjumpai hal-hal yang baik dari kebiasaan orang bule saat berbelanja. Seperti apa kebiasaan baik itu?
Pertama, membawa tas belanja sendiri sehingga mengurangi penggunaan kantong kresek, baik ketika berbelanja di supermarket maupun di pasar-pasar tradisionalnya. Memang tidak semua orang melakukannya. Tetapi orang yang menolak menggunakan kantong kresek dan membawa tas belanja sangat diapresiasi. Biasanya kasir yang bertugas pun akan bertanya, mau kantong kresek? Dan, tidak ada jawaban lebih membanggakan selain, oh terima kasih, saya bawa tas sendiri sembari menyodorkan tas belanja kita.
Kedua, orang bule sangat menghormati para lanjut usia (lansia) dan wanita yang membawa bayi. Jika dalam deretan antrian di kasir terdapat lansia atau wanita dengan bayinya, maka orang-orang yang berada di depannya dengan senang hati memberikan tempat kepada lansia atau wanita tersebut. Sebuah sikap yang menunjukkan upaya memberikan kemudahan yang karena kondisi fisik atau hal lainnya tidak harus berlama-lama berdiri dalam antrian.
Terakhir, tulisan ini tidaklah bermaksud membanggakan orang bule, pun tidak bermaksud merendahkan orang Asia. Penggunaan istilah orang bule juga bukan sebuah generalisasi bahwa semua orang bule sedemikian baiknya sebagaimana cerita di atas. Juga tidak bermaksud membuat generalisasi bahwa semua orang Asia seburuk cerita di atas. Tulisan ini hanya sekeping cerita dari seorang kawan dan pengalaman pribadi saat berbelanja. Boleh jadi orang lainnya memiliki pengalaman berbeda.
Brunswick, 28 Januari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H