[caption id="attachment_295537" align="aligncenter" width="648" caption="video news.com.au"][/caption]
Channel 7, satu saluran TV swasta di Australia, masih terus memburuh tanda tangan Schapelle Corby. Awalnya Channel 7 tidak sendirian tetapi bersaing dengan Channel 9. Tetapi belakangan peluang ada di tangan Channel 7 yang terbukti lebih bersungguh-sungguh. Kesungguhan itu tercermin dari dua hal; pertama, mengirimkan reporter senior Mike Willesee ke Bali di mana tempat dia menginap sama dengan tempat menginap Corby yakni Villa Sentosa, sebuah villa mewah di Seminyak; kedua, Channel 7 bersedia membayar A$3 million, bahkan ada juga yang menyebutkan mencapai A$5 million. Jumlah tersebut jika dikurskan dalam mata uang Rupiah nilainya mencapai puluhan miliar.
Corby tentu sangat ingin mendapatkan uang sebanyak itu. Sembilan tahun mendekam dalam Lapas Kerobokan cukup membuat kantongnya "kering". Maka menolak tawaran Channel 7 tersebut pasti suatu kebodohan. Channel 7 pun berpikiran sama yaitu uang. Mengeluarkan banyak uang untuk suatu wawancara eksklusif dengan Corby adalah cara mendapatkan uang yang lebih banyak.
Namun rencana kedua pihak, Corby dan Channel 7, seperti tidak akan berjalan lancar. Indonesia menjadi penentu apakah kedua pihak bisa meraup keuntungan masing-masing. Ibarat meminjam pepatah terkenal ‘Corby dan Channel 7 boleh berencana tetapi Indonesia jualah yang menentukan. Bagaimana Indonesia berperan? Berikut beberapa kemungkinan yang menurut saya bisa terjadi:
[caption id="attachment_295539" align="aligncenter" width="580" caption="www.kelvinchong.com.au"]
[/caption]
Pertama, status Corby adalah bebas bersyarat yang artinya masih sangat tergantung pada Indonesia. Status ini diikat dengan beberapa aturan satu diantaranya Corby tidak boleh membuat keresahan dalam masyarakat. Nah, jika Indonesia merasa wawancara Corby oleh Channel 7 berpotensi menyebabkan turbulensi sosial-politik maka Indonesia dapat saja melarangnya. Artinya, karena tidak ada wawancara, baik Corby maupun Channel sama-sama buntung.
Kedua, wawancara bisa saja berlangsung tetapi Indonesia melakukan pegawasan ketat selama proses wawancara. Boleh jadi termasuk melakukan editing atas wawancara tersebut sebelum dilempar ke publik. Persoalannya, model wawancara yang sudah melalui proses editing akan menjadi tidak laku. Hasil wawancara menjadi tidak menggigit dan akibatnya berpengaruh pada berkurangnya minat masyarakat untuk menonton. Jadi, Channel 7 akan merasa rugi jika prosedurnya seperti ini.
Ketiga, Indonesia mungkin saja mengizinkan adanya wawancara tanpa sensor sedikit pun namun dengan catatan wawancara baru dilaksanakan setelah Corby bebas murni. Kapan Corby bebas murni ya 2017. Namun saya kira Channel 7 tidak akan nyaman dengan opsi ini. Menunggu hingga 2017 untuk sebuah wawancara eksklusif terlalu lama dan keburu cerita Corby sudah dianggap kadaluarsa oleh publik.
Keempat, wawancara berlangsung sebagaimana biasa namun Indonesia dapat saja meminta uang yang dibayarkan Channel 7 ke Corby diserahkan kepada Indonesia. Mekanisme ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2009 tentang jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pada Pasal 1 angka (1) huruf (e) dikatakan bahwa jenis penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mencakup penerimaan dari Jasa Tenaga Kerja Narapidana. Berapa besar yang bisa diterima Indonesia dari jenis penerimaan ini? Nah, masih dalam PP yang sama pada Pasal 1 ayat (3) disebutkan tarif penerimaan bukan pajak dari jasa tenaga kerja narapidana sebesar nilai nominal yang tercantum dalam kontrak kerjasama.
Poin keempat ini tentu saja tidak menguntungkan Corby. Lha dia yang capek-capek diwawancara dan berharap dapat uang banyak eh malah diserahkan ke Indonesia. Namun, poin keempat ini pun bisa jadi mendapatkan resistensi dari masyarakat Indonesia. Meski aturan yang digunakan yakni PP Nomor 38/2009 di atas sudah benar tetapi untuk kasus Corby ini agak berbeda. Ya, Indonesia bisa mengambil penerimaan dari jasa tenaga kerja narapidana tetapi bukan dari seorang Corby. Psikologi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih belum bisa menerima pembebasan bersyarat adalah kendalanya. Bahkan jika Indonesia mengambil uang dari hasil wawancara eksklusif Corby tersebut sangat berpotensi melukai hati rakyat Indonesia, seolah-olah hukum di Indonesia dinilai dengan uang apalagi jika isi wawancara melecehkan hukum dan aparat hukum di Indonesia.
[caption id="attachment_295538" align="aligncenter" width="650" caption="Villa Sentosa, villa mewah di Seminyak Bali, tempat menginap Corby begitu keluar dari Kerobokan (video.news.com.au)"]
[/caption]
Haruskah Corby Layani Wawancara?
Corby tentu saja berhak bicara. Dia sah-sah menceritakan ke publik apa saja yang dianggapnya benar terkait ganja seberat 4,1 kilogram yang ditemukan dalam tasnya. Dia juga boleh saja menyampaikan ke publik tentang segala yang dialaminya selama berinteraksi dengan aparat penegak hukum di Indonesia. Tetapi dia pun harus tahu bahwa jika hasil wawancaranya ternyata jadi polemik di masyarakat maka kerugian bisa mengarah padanya. Apalagi jika Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) konsisten dengan pernyataannya bahwa bebas bersyarat Corby bisa dianulir jika tindakan dan kegiatannya menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Sebenarnya Corby juga bisa menimbang untuk tidak melayani wawancara andai dia membaca hasil polling di Australia selama satu pekan ini. Begitu pula Channel 7 bisa mundur dari proyek mahalnya ini jika cermat membaca polling terbaru tersebut. Polling yang mencoba bertanya ke publik Australia, apakah pantas seorang narapidana narkoba dinilai uang puluhan miliar untuk sebuah wawancara eksklusif? Polling yang dilakukan News Corp tersebut menyebutkan bahwa dari 60 ribu responden sebanyak 84,82 persen menyatakan tidak setuju jika suatu media membayar narapidana narkoba untuk suatu wawancara apalagi dengan nilai uang sebanyak itu. Nah, hasil polling ini pun bisa menjadi gambaran awal jika wawancara tetap berlangsung, apakah publik Australia akan menonton atau tidak. Pengalaman film ‘Schapelle bisa juga menjadi rujukan Corby untuk menakar daya tariknya di masyarakat Australia. Film yang ditayangkan perdanaawal pekan lalu tersebut hanya ditonton 1,3 juta masyarakat Australia.
Kenapa publik Australia sendiri mulai jenuh segala hal terkaitCorby? Kemungkinannya, pertama, media-media terlalu mem-blow-up pemberitaan seputar Corby; kedua, sebagian besar masyarakat juga meyakini Corby bersalah dalam kasus tersebut. Hasil polling Nielsen 2010 menyebutkan 9 dari 10 responden meyakini Corby bersalah (41 persen yakin Corby salah dan 48 persen tidak memberikan jawaban), keyakinan publik yang sangat jauh bergeser jika dibandingkan polling di awal-awal kasus 2005 di mana polling Morgan menyebutkan 51 persen responden yakin Corby tidak bersalah.
Orang nomor satu di Queensland, negara bagian yang merupakan kampung halaman Corby, Campbell Newman sudah berkomentar bahwa tidak pantas seorang narapidana dibayar uang untuk suatu wawancara. Pejabat gubernur tersebut mengatakan jika wawancara tetap berlangsung maka pihaknya akan mencari tahu apakah hal tersebut telah melanggar hukum di Australia. Komentar yang menyulut emosi keluarga Corby dan menyerang balik pemerintah dengan mengungkap adanya sumbangan A$560 ribu kepada Channel 9 untuk pembuatan film ‘Schapelle’.
So, seberapa kuat pusaran uang dalam kasus Corby ini berputar bila wawancara eksklusif jadi dilaksanakan masih kita tunggu, termasuk siapa dan pihak mana yang akhirnya masuk dalam pusaran uang puluhan miliar tersebut. The story goes on....
Brunswick, 15 Februari 2014
Simak Juga:
http://regional.kompasiana.com/2014/02/16/horeekini-pasar-sudah-dekat-633667.html
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/02/12/beternak-pun-mesti-adil-pada-hewan-632757.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H