Lihat ke Halaman Asli

Energi Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku menatap langit kosong kemudian terkenang akan rasa sepi, mimpi absurd, dan ruang hati yang hampa. Aku memikirkan jalinan takdir yang berliku yang masih memisahkan kita berdua sekarang. Kita berada di atas hamparan bumi yang sama, di bawah naungan langit yang sama, dibekap selimut kerinduanyang sama namun terserak di lorong cinta yang gelap dan kita harus meraba-raba. Kamu, dimanapun kamu berada, apapun yang sedang kamu kerjakan atau pikirkan sekarang, tidakkah pernah terbersit dalam hati kecilmu tentang aku di sini yang menggigil oleh rindu dan rasa kesepian? Jika aku bisa mengubah energi cintaku ini menjadi energi cahaya akan aku titipkan cintaku pada sinar matahari yang memeluk hangat tubuhmu. Pada angin yang menerpa wajah cantikmu--energi kinetik cintaku. Atau pada panas hairdryer yang mengeringkan rambut indahmu. Agar kamu merasakan cintaku dari segala penjuru dan memenuhi hatimu yang bersinar. Aku pernah belajar fisika di masa SMA dan nilaiku cukup buruk namun paling tidak aku tahu energi itu tidak bisa diciptakan maupun dihancurkan, mengalir seperti air. Seperti halnya energi cintaku ini--yang Tuhan anugerahkan lewat suatu bagian dari tubuhku yang ingin menyayangi yang dinamakan hati, hormon yang liar dan syaraf-syaraf rumit yang menebarkan perasaan tak keruan--takkan pernah bisa dihancurkan atau padam.

Aku mungkin tersesat di belahan bumi yang salah sedangkan kamu di belahan bumi yang lain, sama-sama merasa kikuk dan tak nyaman, saling mencari belahan jiwa satu sama lain. Kita bertemu banyak orang, melihat banyak wajah dan struktur tulang, mengingat beberapa nama dan mungkin mencoba mencintai beberapa hati. Pertanyaan besarnya: apakah aku harus percaya pada jalinan takdir, sekusut apapun itu? Rasanya aku ingin menguap, tiba-tiba lenyap dari muka bumi ini, hanya karena tak tahan dengan energi cinta dalam hatiku ini. Rasanya ingin terurai, menjadi serpihan-serpihan kecil, membentuk serangkaian tumbukan, dan meledak seperti bom nulkir yang dahsyat. Atau lebih baik aku manfaatkan energi cinta ini untuk pembangkit listrik, dunia sekarat dan minyak bumi secara perlahan namun pasti akan habis.

Aku akan berhenti membual karena tulisan ini sudah tidak lagi menarik. Pertanyaan terakhir: ke arah mana harus kulangkahkan kaki dan hati ini untuk menuju tempatmu sekarang dan berlabuh? Samudra mana yang harus kusebrangi? Pegunungan mana yang harus kudaki? Beri aku pertanda, sekecil apapun itu. Paling tidak, setitik cahaya akan menerangiku mengarungi lorong cinta yang gelap dan menakutkan ini. Dan energi cinta dalam ruang dalam hatiku ini lebih dari cukup untuk menggerakkan diriku kepadamu, inci demi inci, hingga jalinan takdir kita bertemu di suatu simpul yang kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline