Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Sulton Ghozali

sudah manis, senang menulis

Dengan Adab, Penjual Es Teh Menjadi Lebih Mulia daripada Pendakwah

Diperbarui: 14 Desember 2024   08:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jagad internet Indonesia baru saja dihebohkan dengan kegiatan dakwah seorang ulama terkemuka di salah satu daerah yang menarik perhatian netizen. Rupanya, bukan isi dakwah ulama tersebut yang menyentuh sanubari para umat. Bukan pula dalil-dalil yang disampaikannya mampu memperkuat akidah para hadirin di sana. Apalagi kepeduliannya terhadap kondisi umat di sekitarnya. Sayangnya, terdapat salah satu ucapannya yang menusuk hati seorang bapak-bapak penjual es teh yang tengah mengais rezeki di acara religius tersebut. 

Dari video yang viral di media sosial, bapak penjual es teh tersebut menjajakan es teh ketika kondisi acara yang sudah dingin setelah hujan. Barangkali, hal ini membuat dagangannya kurang laku. Entah siapa yang memulai, pendakwah yang disebut sebagai Gus itu mulai bercanda dengan penjual es teh. Berharap dagangannya akan dibayar oleh pendakwah tersebut, justru yang keluar adalah makian "goblok" yang diterimanya.

Bayangkan saja, sudah lelah berdiri, berkeliling, dan menawarkan dagangannya, justru tiba-tiba diolok-olok dan dipermalukan di depan orang banyak. Lihat saja bagaimana respon bapak-bapak penjual es teh tersebut yang sempat menghela napas setelah mendengar ucapan sang pendakwah kepadanya. Lebih parah lagi, tamu-tamu undangan yang berada di atas panggung dengan ulama tersebut ikut menertawakan penjual es teh tersebut.

Setelah mengolok dan berhasil mengundang gelak tawa para hadirin, sang pendakwah tentu sempat berkilah bahwa maksudnya mengingatkan penjual es teh agar berusaha menjajakan dagangannya dahulu tanpa berharap diborong. Memang, sang pendakwah adalah salah satu figur yang cukup populer, baik dengan gaya ceramahnya yang banyak bercanda maupun kemurahan hatinya. Barangkali, tingkah sang pendakwah ini sengaja memberikan contoh kepada para hadirin yang menyaksikan bahwa manusia harus berusaha terlebih dahulu sebelum mendapatkan imbalannya. Baginya, niatnya untuk memborong dagangan penjual es teh tersebut sudah setara dengan mukjizat sehingga harus disyaratkan dengan usaha-usaha yang begitu berat.  

Terlepas dari dagangannya benar-benar akan diborong atau tidak, rasanya tentu tidak pantas. Reaksi netizen yang geleng-geleng kepala dengan sikap pendakwah tersebut pun masuk akal. Entah niatnya hanya bercanda, seharusnya ada batasnya, terlebih kepada orang yang belum ditanyakan dahulu kesediaannya untuk dijadikan bahan bercanda. Terlebih, ujaran yang dianggap bercanda itu ternyata merendahkan seseorang karena menggunakan sebutan yang dinilai buruk. Tidak setiap hal bisa dibuat bercanda atau ditertawakan. Meskipun berdalih gaya berdakwahnya seperti itu, apakah setiap lelucon berarti patut diwajarkan dan mengabaikan kemungkinan tersinggung? Bahkan, Nabi Muhammad saja tidak pernah bercanda dengan mengolok-olok orang lain.  Kita tidak pernah tahu hal-hal yang telah dialami oleh seseorang yang memengaruhi kekuatan hatinya untuk menerima berbagai ejekan sebagai candaan.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, yang terucap sudah terlanjur. Meskipun prediksinya nanti akan ada klarifikasi, minta maaf kepada pihak yang bersangkutan, hingga menawarkan bantuan bernilai jutaan, momen tersebut sudah terjadi dan tidak akan terlupakan. Jika disangkutpautkan dengan agama, maka malaikat sudah mencatatnya dan hal seperti ini bisa mengganjalnya menuju surga. Itulah sebabnya, ujaran "adab lebih tinggi daripada ilmu" memang benar adanya. Manusia yang berilmu akan mudah terperdaya dengan ilmunya, merasa memiliki derajat yang lebih tinggi, dan tidak mempunyai empati dengan sekitarnya. Sebaliknya, manusia yang beradab akan selalu mengutamakan kemanusiaan itu sendiri. Adab adalah sikap menghormati dan menghargai orang lain, terlepas dari latar belakangnya. Jika memang belajar agama, maka seharusnya sang pendakwah memahami bahwa setiap manusia terlihat sama dan setara di mata Tuhan, kecuali dibedakan dengan amal perbuatannya. 

Dengan kata lain, jika sang pendakwah bisa bercanda sedemikian mudahnya kepada orang lain hanya karena pekerjaannya sebagai penjual es teh, manakah yang lebih mulia derajatnya di mata Tuhan? Apakah pendakwah yang mudah mengolok orang lain karena terlihat kurang berusaha dari penghasilannya? Atau justru penjual es teh yang rela berjualan di malam hari demi mengais rezeki halal untuk keluarganya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline