Lihat ke Halaman Asli

Masa Depan Agama

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya,entah mengapa, memilikikesenangan yang sulit dijelaskan menyangkut sesuatu yang berhubungan antara manusia dan agama. Bukan tentang segala hal mengenai bagaimana suatu agama dijalankan, tetapi lebih kepada bagaimana suatu agama berkembang, bagaimana suatu agama diterima oleh sekelompok manusia, tentang pembicaraan-pembicaraan menyangkut kesadaran tak terelakkan manusia untuk mempercayai imam-imam, meyakini nabi, serta tunduk pada aturan kuil, kitab suci atau hikayat-hikayat berusia ribuan tahun. Mungkin bukan tentang agamanya.Mungkin saya lebih tepatnya senang untuk berusaha mencerna tentang manusianya itu sendiri.Tentang manusia lebih jelasnya.

Sekarang adalah zaman kecepatan.Segala sesuatu menuju yang terbarukan, yang diperbaharui ataupunyang nampak baru. Bergerakmenuju perubahan, yang mana bukti paling jelas yang bisa dicerna oleh indera kita menyangkut perubahan adalah adanya sesuatu yang baru –atau terlihat baru-.Konskwensi sebagai manusia yang dikutuk dengan ambisi yang tak berujung, mendorong kita untuk selalu bergerak maju. Meningkat dan lebih meningkat dalam kecepatan yang tak terkira. Diam berarti tergusur, menjadi tersisih lalu menyampah dalam bagian konstelasi hidup bermasyarakat.Kita semua mau tak mau, rela tidak rela pastinya sepakat dengan hal ini. Kita, para manusia hidup di era kecepatan super. Hidup yang layaknya tak cukup dengan 24 jam sehari.

Setiap hari mesti lahir produk baru, gaya baru, budaya baru, minimal imitasi dari yang telah ada sebelumnya. Meski tak selalu baru, yang penting berbeda. Mengapa ini penting? Sebab bukti paling jelas yang menenangkan nafsu kita akan kemajuan adalah minimal kita melihat atau merasakan sesuatu yang kita pikir sesuatu yang baru.Kita sekali lagi dikutuk oleh ambisi untuk tak bisa diam, kita mesti bergerak cepat dalam segala hal untuk menenangkan ambisi demi mencapai ketenangan. Tapi kita lupa, ketenangan adalah musuh abadi dari sesuatu yang bergerak cepat. Kita hanya bisa berada di kondisi tenang dalam kecepatan, hanya dan hanya jika kita bergerak dengan kecepatan yang melebihi kecepatan itu sendiri sehingga kita tak lagi terdistraksi oleh proses energi gerak yang dibawa oleh usaha bergerak. Tapi apa itu mungkin dalam hidup nyata?.

Lalu apa hubungannya ini dengan agama? Akh, sepertinya saya terlalu meracau jauh. Tapi mungkin juga tidak. Saya adalah orang yang percaya bahwa agama adalah sesuatu yang secara tidak sadar- atau malah sangat sadar- diadakan oleh manusia untuk mengisi waktu luang. Seperti halnya seni, ketika manusia purba kelelahan sehabis memburu hewan serta menjaga diri dari serangan balik hewan buruan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan paling dasar –mempertahankan hidup-, mereka akan menemukan kebutuhan baru. Kebutuhan untuk duduk tenang, bercengkrama yang lalu melahirkan seni. Seni tertawa, seni bersenandung lalu meningkat ke bentuk seni yang lebih tinggi, seni penghayatan. Pada titik inilah menurutku manusia purba menemukan agama (menemukan Tuhan mungkin?..). Tuhan datang kepada manusia dalam kondisi tenang, adalah musykil membayangkan kedatangan Tuhan pada manusia yang senantiasa bergerak, tak tenang dan masih memusatkan 100% perhatiannya pada satu titik fokus : bertahan hidup.Bagaimana kemudian agama menemukan bentuknya, ritualnya lalu memilih imam-imamnya lebih kepada proses yang didasari oleh sesuatu yang saya sebutkan diatas, ambisi.Ambisi untuk terus bergerak, menuju kemajuan.

Disinilah dilema hadir. Proses kebaruan dalam agama yang dipicu ambisi para umat beragamapada akhirnya akan membunuh agama itu sendiri.Okelah, mungkin bukan proses kebaruan dalam agama itu secara langsung, tapi proses perubahan yang dikejar manusia dalam hidupnyalah yang tak menyisakan ruang yang cukup untuk hidup langgengnya agama itu sendiri.Seperti halnya saya sebutkan diatas, Tuhan datang ke manusia dalam kondisi tenang, maka Tuhan-pun akan meninggalkan kita ketika kita tak lagi memiliki stok waktu tenang. Atau kita yang tak punya waktu untuk Tuhan.

Bagaimana nasib agama kelak?. Menurutku, agama akan senantiasa ada, meski malih rupa. Manusia tak bisa lari dari kebutuhan untuk merasa tenang dan ditenangkan.Disinilah satu-satunya fungsi yang tersisa dari agama di masa depan.Penjelasan kasarnya mungkin bahwa ketika umat manusia bergerak dalam hidup yang serba ketat, yang begitu diburu untuk tetap eksis dalam dunia. Eksis yang saya maksud disini bukanlah makna eksis secara harfiah, tapi lebih dari sudut keeksisan secara budaya, tata nilai pergaulan, modalitas, yang sebagian besar lebih banal.Bagaimana mungkin ada ruang untuk segala gerak laku ritual keagamaan yang menyita waktu?. Itulah sebabnya mungkin sekarang marak muncul sempalan-sempalan dalam agama, ajaran-ajaran baru, penafsiran baru dari suatu agama, dari suatu ritual, dari suatu kitab suci. Penafsiran baru yang lebih menunjukkan versi ringkas dari suatu agama.Contoh konkretnya dalam agama islam, lahirnya nabi-nabi baru yang mengaku membawa ajaran baru yang membolehkan pengikutnya untuk tak sholat, tak usah puasa dan lain sebagainya. Nabi-nabi yang menjanjikan cara masuk surga yang lebih gampang.Di zaman ketika waktu begitu berharga, tak tersisa ruang yang cukup untuk laku gerak ritual agama yang tak produktif secara materi. Sehingga jangan heran di masa depan akan lebih banyak lahir nabi palsu dengan ajaran yang semakin ringkas dan hemat waktu.

Tapi jeleknya manusia, selain terlahir ambisius, kita juga terdepak ke bumi membawa sifat takut yang amat besar terhadap hidup kita di bumi sekaligus kemana kita kelak bila mati. Ketakutan inilah yang membutuhkan alat penenang, yang diwujudkan dalam bentuk agama.Jikalau kita menolak bentuk agama yang kaku, maka inilah peluang lahirnya segala macam bentuk spiritualisme. Bentuk olahan baru akan penghayatan terhadap Tuhan (atau sesuatu yang gaib) yang lebih fleksibel, tak terpatok oleh aturan ritual yang kaku yang ditawarkan oleh agama. Kita ditenangkan oleh perasaan masih bertuhan dengan cara mendengar murottal dari mp3 player sambil mengerjakan tugas, kita ditenangkan dengan memasang kaligrafi ayat Alquran dirumah, dengan memasang tasbih dimobil,tapi tak tersedia waktu untuk ritual yang boros waktu lainnya.

Agama akan selalu ada, atau akan selalu diadakan. Tapi bentuk agama di masa depan boleh jadi akan jauh berbeda dengan yang sekarang,meski jangan khawatir, sebab kita secara kreatif akan selalu menemukan pembenaran akan hal itu.Kita adalah anak-anak zaman, kita yang menciptakan sejarah hidup kita sendiri, dan kita pulalah yang akan memilih model agama yang kita butuhkan. Sedangkan dalam bertahan hidup yang begitu keras, kita berhasil beradaptasi, apalah lagi untuk sekedar ketenangan waktu senggang yang kita sebut agama. Pada akhirnya, di masa depan, kita akan tetap hidup dalam agama, sebuah implikasi ringkas dari agama lama, atau mungkin pula bentuk agama baru, atau yang terbarukan. Sekedar memenuhi kebutuhan kita akan ketenangan dan rasa tak bersalah.Bentuk ringkas agama, pengayaan baru dari suatu spiritualisme, apapun namanya, yang fungsinya mengenalkan ketenangan, dengan atau tanpa dengan keberadaan Tuhan.Waktu yang terlalu sempit demi kemajuan, mungkin tak memerlukan lagi Tuhan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline