Saat punya anak kita perlu banyak menyesuaikan diri. Kita harus pintar membagi waktu untuk buah hati. Yah, sebagai suami tak ada masalah meringankan beban istri. Hanya dengan membantu pekerjaan istri tidak akan menurunkan derajat seorang laki-laki.
Di rumah, kami masih bingung mengurus buah hati. Maklumlah, jadi orangtua pemula masih amatiran. Untuk saja mertua senantiasa membantu ngurusin bayi. Istri masih masa penyembuhan. Sepertinya tidak mungkin, dan saya tidak rela melihatnya jika dia banyak aktivitas, termasuk memandikan buah hati.
Setelah diskusi dengan istri dan mertua, akhirnya kami memutuskan membayar orang untuk memandikan buah hati kami. Tulang bayi itu masih lembek jadi butuh kehati-hatian tingkat tinggi dalam memandikannya. Keahlian dan pengalaman menjadi prioritas kami dalam memilih orang. Untuk anak jangan untuk coba-coba ya!
Kebeteluan, ada saudara mertua yang pengalaman mengurus bayi. Dari mulai memandikan sampai mengurut bayi. Tak heran, bila rumahnya sering didatangi orang yang ingin mengurut bayi mereka. Karena rumah kami berdekatan, jadi mengundangnya agar datang ke rumah. Setiap pagi dan sore buah hati kamipun dimandikan oleh Ncang Minah.
Sebelum tali pusar copot secara alami, maka selama itu Cang Minah memandikan Bayi kami. Setiap memandikan Kafa, panggilan buah hati kami, saya selalu memperhatikannya. Dengan telaten dan begtu hati Cang Minah membasuh setiap bagian tubuh buah hati kami. Pengeluaran rutin keluarga kecil ini bertambah. Walaupun, tak terlalu mahal tapi bagi keluarga 'baru' seperti kami mungkin harus mengocek simpanan. Tapi demi anak, nggak apa-apa deh. Ada istilah, anak itu membawa rizki. Anak itu kan titipan dari Allah. Yakin saja, Allah pasti akan memenuhi kebutuhannya. Kita sebagai orangtua hanya ikhtiar dan berdoa.
Memandikan bayi yang masih muda harus ekstra hati-hati. Sampai-sampai mertua saja tidak berani. Menunggu tali pusar copot ternyata lama juga.
Sambil menunggu tali pusarnya copot, ASI istriku juga sedikit sekali keluarnya. Mungkin karena anak pertama kali ya.
Itu terbukti saat mendekati persalinan. Setelah mengadakan tradisi tujuh bulanan, saya harus mempersiapkan dana untuk proses lahiran. Coba bayangkan, ada masa jeda selama tiga (3) bulan untuk mengumpulkan dana. Paling tidak, dana yang mesti terkumpul 15 juta rupiah. Dalam waktu tiga bulan, setidaknya dalam satu bulan harus menabung 5 juta. Kalau dipikirkan saja tanpa disertai doa dan pertolongan dari Allah, uang segitu nggak akan terkumpul. Gaji saya aja sebulan kurang dari 3 juta. Bayangkan, penghasilan itu dikurangi pengeluaran sehari-hari.? Sudah, tak usah dipikir panjang. "Berdoa saja, Insya Allah ada rizkinya," kalimat itulah yang senantiasa terlontar di telinga istriku.
Tapi Allah Maha Kaya. Saat itu ada saja garapan pekerjaan di luar kerjaan rutin. Akhirnya, pemasukan tambahan pun ada. Tak di sadari sudah terkumpul. Perut istriku juga semakin membesar. Semua aktifitasnya sudah terhenti. Saya mengajukan cuti kepada pengasuh pesantren tempat istri saya mengajar.
Jalan pagi pun mulai dibiasakan, walaupun agak telat. Umur kurang lebih delapan bulan istriku baru membiasakan jalan pagi. Padahal, jalan pagi untuk ibu hamil itu penting.
Sesuai kaidah fiqh, kalau tidak bisa melakukan semuanya jangan ditinggalkan semuanya. Daripada tidak sama sekali, mending dilakukan walaupun terlambat, tidak ada salahnya.