Lihat ke Halaman Asli

Upaya Hukum dan yang Mempertanggungjawabkan Kelalaian dalam Administrasi Lembaga Pertanahan

Diperbarui: 12 November 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kasus sengketa tanah dimana pengaturan yang terdapat dalam UUPA (UU 5/1960) dengan berpegang kepada asas negatif memungkinkan seseorang yang sudah memegang atau memiliki sertifikat tanah pun masih dapat untuk di ganggu gugat, hal itu mengisyaratkan hak atas tanah yang sudah didaftarkan seseorang dengan dikeluarkannya sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional bukanlah merupakan alat pembuktian yang mutlak (dalam arti subyek kepemilikan hak atas tanah tersebut sudah final) tetapi hanyalah sebuah alat pembuktian yang kuat, artinya masih dibuka kemungkinan untuk menggugat hak atas tanah tersebut di pengadilan.

Akan tetapi ada pembatasan waktu yang disebutkan dalam pasal 32 ayat (2)  PP No 24/1997 “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.” Sebagaimana yang disebutkan pasal ini yang menguatkan asas negatif sekaligus mengakui asas positif (asas negatif yang bertendensi positif) dimana hak atas tanah yang sudah dimiliki seseorang masih dapat digugat atau diajukan keberatan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tanah, maka apabila sudah lebih dari 5 (lima) tahun asas negatif yang sebelumnya mengikat sabyek hak atas tanah yang bersangkutan akan lepas dengan sendirinya dan digantikan dengan asas positif (subyek hak atas tanah tersebut sudah final).

Menjawab pertanyaan “upaya apakah yang harus dilaksanakan oleh seseorang atas adanya tumpang tindih hak atas tanah yang disebabkan oleh kelalaian petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) ?” Dengan berpedoman pada pasal 32 ayat (2)  PP No 24/1997 terdapat dua opsi upaya hukum yang dapat dilakukan pihak yang berkepentingan, upaya hukum yang pertama adalah dengan mengajukan surat keberatan secara tertulis (somasi) kepada pemegang setifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan, kemudian opsi yang kedua iyalah mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Apabila upaya hukum yang pertama tidak mendapatkan tanggapan dari pihak-pihak yang bersangkutan maka pengajuan gugatan kepada pengadilan dapat dilakukan oleh pihak ketiga sebagai jalan akhir untuk mendapatkan keadilan. Artinya kedua opsi diatas dapat dilakukan, namun secara bertahap sebagaimana lazimnya dalam prosedur hukum yang mendahulukan pengajuan somasi sebelum upaya penggugatan ke pengadilan.

Sampai di sini jawaban atas pertanyaan diatas sebenarnya belum terjawab sepenuhnya, di dalam pasal 32 ayat (2)  PP No 24/1997 pihak yang menjadi sasaran somasi adalah selain pemegang hak juga kepala Kantor Pertanahan Nasional, sedangkan yang dimaksudkan dalam pertanyaan diatas adalah petugas Badan Pertanahan Nasional secara prinsip tentu pengertiannya akan berbeda dengan kepala Badan Pertanahan Nasional. Sesuai dengan pasal 63 PP No 24/1997 yang menyatakan bahwa “Kepala Kantor Pertanahan yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan dalam peraturan pelaksa naannya serta ketentuan-ketentuan lain dalam pelaksanaan tugas kegiatan pendaftaran tanah dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Di dalam pasal ini disebutkan pengenaan sanksi administratif bagi kepala Kantor Pertanahan (dalam hal ini BPN) bukan pengenaan sanksi kepada petugasnya. Arti atau juga kedudukan seorang kepala Kantor Pertanahan (dalam hal ini BPN) tidak dijelaskan sama sekali, bahkan sudah dinyatakan cukup jelas.

Untuk memperoleh kesimpulan mengenai siapa petugas, siapa dan bagaimana kedudukan seorang kepala kelembagaan dapat kita tarik dari kebiasaan. Dimana dalam praktek kebirokrasian seseorang yang berkedudukan sebagai kepala sudah menjadi bagian yang sangat intim dalam jalannya suatu lembaga, artinya dialah yang menjadi otak dari jalannya tugas-tugas dalam kelembagaan tersebut dalam hal ini dapat kita sebutkan bahwa kepala Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional memberikan mandat kepada petugas-petugasnya (Pegawai) yang dengan ini tanggung jawabnya masih dipegang oleh yang memberi mandat tersebut bukan si penerima mandat. Sehingga pantas di dalam pasal 63 PP No 24/1997 tersebut yang bertanggung jawab sebagai penerima sanksi adalah kepala Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional atas kelalaian yang dilakukan oleh petugasnya (pegawai) dimana sanksinya berupa sanksi administratif. Dan untuk petugas Kantor Pertanahan/Badan Pertanahan Nasional sudah pasti akan dikenai sanksi juga tetapi melalui peraturan internal kelembagaan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline