Peran perempuan dalam konteks kepemimpinan di berbagai kehidupan termasuk dalam pemerintahan menjadi permasalahan kontroversial.
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menggerakkan orang lain dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing untuk mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Maka kepemimpinan lahir dari proses internal leadership from the inside out, artinya berhasil tidaknya seorang pemimpin tidak terlepas dari kepribadian maupun ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan didorong oleh keinginan untuk melakukan suatu perubahan dan perbaikan dalam masyarakatnya. Maka peran dan fungsi perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki bahkan dalam pandangan Islam didudukan secara sama dalam hukum.
Eksistensi kaum perempuan dalam kehidupan serta problematika yang dihadapinya sepanjang masa, pada prinsipnya berkisar pada tiga persoalan pokok, yaitu sifat pembawaan perempuan (karakter bawaan), hak-hak dan tugas-tugas perempuan, baik di lingkungan keluarga, ataupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat luas, dan pergaulan yang berbasis sopan santun dan etika, terutama hal-hal yang berkaitan dengan tradisi, dan adat kebiasaan.
Kedudukan dan peranan perempuan dalam Islam sejatinya sangat terhormat dan tinggi, karena mereka diberikan derajat yang hampir sama dengan pria.
Oleh karena itu bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Tuhan telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugrahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan dua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum dan khusus.
Ketika kita melihat Kepemimpinan perempuan dalam Perspektif Syariat Islam yaitu terutama karena kondisi yang sangat darurat, suaminya terbunuh yang mengharuskan ia mengambil kekuasaan ketika kondisi pemerintahan kacau, dan ancaman eksternal sangat kuat. Hal demikian juga dialami oleh Ghaziyah, yang memerintah mengatasnamakan putranya yang masih kecil setelah suaminya meninggal. Ia dilukiskan oleh Adz-Dzahabi sebagai orang yang shaleh dan sopan. Kekayaan tampilnya perempuan dalam politik banyak di warnai dalam sejarah dinasti Mamluk dan Seljuk.
Adapun selaras dengan pendapat Quraish Shihab menggunakan pendekatan kontekstual dan sosiohistoris, Pendekatan ini dengan mempertimbangkan setiap kata yang diberikan dalam terang konteksnya, dan untuk sampai pada pemahaman yang diyakini lebih relevan dengan keadaan. Tentang kepemimpinan perempuan melalui fakta-fakta.
Realitas sosial dan sejarah, membuktikan bahwa telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas legitimasi hukum yang diberikan kepada masyarakat, dengan kata lain, perempuan boleh menjadi seorang pemimpin dengan kepiawaian dan kemampuan yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H