Saya pernah mengajar di sekolah dasar. Kebetulan pelajaran agama yang disampaikan. Murid-murid yang diajari bersikap tidak sesuai dengan etika belajar. Di antaranya ngobrol dan memainkan benda saat guru menerangkan, sering permisi ke toilet, tiduran dan lainnya. Perilaku tersebut membuat saya teralihkan. Seharusnya saya fokus pada materi pelajaran malah menegurnya. Setelah diingatkan mereka terdiam. Sekira tujuh menit kemudian berulah lagi. Kemudian saya tegur lagi. Terus saja demikian. Waktu menjadi habis dengan urusan etika. Materi tidak tersampaikan tuntas. Memang etika lebih penting, tetapi ini kerapkali diabaikan dalam pelaksanaannya. Tentu ini sesuatu yang tidak bagus.
Saya diskusi dengan Sang Guru. Jawabannya sangat menakjubkan: fokus saja dengan murid yang mau belajar. Biarkan apa adanya. Mungkin lelah, bosan, suasana hatinya sedang buruk, dan faktor lainnya. Lantas saya tambahkan bahwa pengajar harus menguatkan kesabaran dan meningkatkan skill agar memiliki daya tarik dalam menyajikan materi.
Satu lagi, aspek pergantian waktu dari pelajaran ke pelajaran lainnya pun turut memengaruhi antusias murid dalam belajar. Tentang ini saya temukan saat mengajar di sekolah menengah pertama. Jam pelajaran agama disimpan setelah pelajaran olahraga. Dapat dimaklumi saat akan belajar kondisi murid lelah fisik, suasana menyenangkan di luar kelas dapat menyebabkan mood tidak semangat saat dalam kelas, bersih bersih badan dan ganti baju yang kadang dijadikan alasan telat masuk kelas, di kelas ngantuk, ngobrol dan bermalas malasan mencatat, lempar lemparan kertas, dan lainnya. Intinya tidak tampak antusias belajar. Apalagi yang disampaikan adalah pelajaran agama, yang terkait dengan pengetahuan keagamaan. Semakin malas saja belajarnnya.
Meski begitu, ada juga murid yang menyimak dan bertanya dengan materi terkait. Sesuai arahan Sang Guru maka saya fokus dengan murid yang menyimak sampai akhir batas waktu belajar. Tidak hanya pada kelas tingkat atas, kelas lainnya juga kadang demikian. Ada yang antusias, ada yang kurang dan yang terpaksa dalam belajar. Apakah tidak variatif dalam mengajar dan tidak menciptakan suasana kelas yang menyenangkan?
Pada beberapa pertemuan biasanya dibikin suasana beda. Sesekali diselingi dengan obrolan yang bikin ketawa dan membiarkan minum dan mengonsumsi makanan, memutar video pembelajaran, belajar di ruang mushola dan ruangan non kelas (masih lingkungan sekolah) dan lainnya. Dilakukan agar terkondisikan santai dan tidak serius, tetapi masih dalam konteks belajar. Bahkan ada penugasan murid kemudian presentasi yang dilakukan murid.
Hanya saja, longgar seperti ini, untuk aspek moral dan sopan santun kadang menjadi diabaikan karena muncul pemakluman atas sikap murid. Apalagi jika tidak ada sistem dan rules yang mampu membuat murid berada dalam kondisi berakhlak baik dan tanpa teladan para pengajarnya maka sering berhadapan dengan situasi yang tak dikehendaki oleh pengajar dan sekolah.
Jika mengalami situasi ini saya evaluasi terkait strategi pembelajaran maupun materi ajar. Tidak lupa melakukan istighfar atas dosa. Mungkin saat menjadi murid dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, saya pernah bersikap buruk pada guru. Ingat dengan sabda Imam Ali kw bahwa sabar adalah menahan diri dari yang tidak diinginkan dan dari yang diinginkan. Itulah yang dipegang dalam diri dan menyadari guru bukan faktor yang menyebabkan murid pintar maupun berkarakter dan menjadi bersikap baik.
Guru hanya sekadar menemani, menunjukkan, mengarahkan, dan membimbing murid menuju pada "jalan" yang seharusnya dan sesuai track capaian pendidikan yang ditempuh. Jika murid tak menghendakinya maka tentu di luar tanggungjawab pengajar.
Beda level tentu beda tantangan. Saya pernah mengajar di kampus negeri di Bandung. Menjadi asisten dari seorang guru. Sesuai dengan bidang studi yang ditekuni sehingga mengajar tidak jauh dari materi tersebut, yakni filsafat sejarah.
Dalam sehari, dari pagi hingga sore, mengajar enam kelas. Setiap kelas sekira empat puluhan mahasiswa. Tak jauh beda memang dengan murid sekolah. Mahasiswa pun sama dalam perilakunya. Ada yang ngobrol, main handphone, membaca buku senyap, ngantuk dan lainnya. Ada pula yang izin ke toilet tanpa kembali ke ruang kelas. Untuk kasus ini, biasanya saya cek kehadiran pada sesi awal dan akhir kuliah. Yang tidak kembali ke ruang kuliah tentu tidak dianggap masuk pada pertemuan tersebut.
Sekedar diketahui bahwa situasi kelas yang diisi mahasiswa agak mudah dikendalikan. Kalau ada yang ganggu ketenteraman kelas langsung minta untuk keluar kelas. Terkadang saya hampiri sambil menegur dengan kalimat: ada yang ingin didiskusikan atau yang akan disampaikan dari materi yang dibahas. Mahasiswa yang bersangkutan akan senyum dan menyatakan tidak. Ada juga yang langsung respons bicara meski kadang tidak relevan dengan materi kuliah. Dengan itu cukup efektif untuk mengembalikan ruang kuliah pada situasi yang seharusnya.