Kali ini tentang bapak. Ia seorang kyai di kampung. Ia fanatik dengan agama, sehingga yang mengkritik dan bersebrangan dengan pendapatnya disebut komunis dan tidak beragama.
Pengetahuan tentang komunis sebagai paham orang tak beragama dan benci agama, ia dapatkan dari obrolan dengan orang lain. Ia pegang saja tanpa kritisi atau konfirmasi pada ahlinya. Bahkan tidak merujuk pada sumbernya. Dapat dimaklumi karena akses pada khazanah tersebut terbatas.
Saya pun dianggap komunis karena memberikan pendapat tentang agama, yang bersebrangan dengan paham bapak. Saya maklum dengan pengetahuan bapak.
Suatu hari di majelis taklim. Cukup banyak warga ikut serta. Saya masuk dan menyimaknya. Saya lihat pejabat masjid bersama bapak duduk di kursi empuk paling depan. Jamaah lain duduk di belakang dengan kursi seadanya.
Saya ikut duduk bersama warga. Lantas tiba adzan untuk shalat, para jamaah pun menegakkan shalat. Saya pun ikut serta sebagai jamaah. Bapak melihat saya. Saya anggukan kepala sebagai hormat.
Selesai dari majelis taklim, saya ke rumah hendak ambil barang. Saat mencari barang, bapak menghampiri dan melayangkan senjata tajam. Saya hindari dan bertanya. Bapak bilang saya komunis tak layak hidup dan tidak beragama, bahaya bagi negara. Saya minta penjelasan kepada bapak tentang pengetahuan komunis dan jaminan kebenaran agama.
Terjadi dialog. Saya beradu argumen. Bapak tak dapat membantah saya. Bapak melihat sendiri saya masih taat melakukan ritual agama.
Lantas dengan pengetahuan seadanya, saya sampaikan pentingnya belajar langsung dari ahlinya dan dari sumber yang terpercaya, termasuk dalam beragama.
Setelah dialog itu, saya pergi. Saat itulah saya terbangun dari mimpi. Kenapa mimpi yang demikian? ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H