Selasa siang 17 Agustus 2021, saya selesai membaca buku Stop Anarkisme: Kode Etik Amar Makruf & Nahi Mungkar. Buku ini ditulis oleh Murtadha Muthahhari. Aslinya buku ini berjudul 'Amar Ma'ruf Nahyi Munkar. Terbit tahun 2006 oleh Al-Huda Jakarta.
Sambil menghantarkan doa untuk pejuang kemerdekaan, syuhada yang melawan kezaliman, dan tokoh pendiri bangsa Indonesia, saya melafalkan Alfatihah dan shalawat. Tidak lupa saya hantarkan Alfatihah dan shalawat untuk cucu Rasulullah Saw yang pada 10 Muharram 61 Hijriah dibantai oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad di bawah komando Umar bin Saad dan Syimir Jausyan. Kejadiannya di Karbala, Irak. Sebuah tragedi yang terus dikenang sepanjang zaman.
Bagaimana tidak memilukan, keluarga Rasulullah Saw yang harusnya dihormati dan dimuliakan malah dizalimi hingga wafat sebagai syuhada. Tidak terbayang sekira tujuh puluhan orang melawan tiga ribuan pasukan. Jumlah yang tidak sebanding. Karena itu, peristiwa 10 Muharram 61 Hijriah di Karbala bukan perang tetapi suatu pembantaian.
Dari tragedi Karbala itu, saya memahami ada dua kaum pada umat Islam setelah Rasulullah Saw. Dua kaum ini memeluk dan meyakini Islam agamanya. Tetapi akhlak dan jiwa kemanusiaan di antara keduanya tidak sama. Kaum yang bersama cucu Rasulullah yang gugur di Karbala mewakili pembela, orang-orang setia, dan berlandaskan kecintaan kepada Rasulullah dan keluarganya.
Sesuai dengan pesan Nabi Muhammad Saw yakni umat harus berpegang teguh pada Al-Quran dan Itrah Ahlulbait (keluarga Rasulullah saw). Pesan ini disebut hadis tsaqalain yang harus dijaga. Setiap orang Islam akan diminta pertanggungan jawab atas tsaqalain tersebut di akhirat. Tidak habis pikir, Ahlulbait yang dititipkan oleh Nabi kepada umat malah dibantai, bahkan dianggap murtad.
Sementara kaum yang membantai dan menzalimi keluarga Nabi Muhammad Saw di Karbala merepresentasikan orang-orang yang tidak amanah dan mengabaikan pesan Rasulullah Saw. Mengapa bisa? Sebab orientasi hidup umat sudah beralih pada kekuasaan, kekayaan, jabatan dan keduniaan, sehingga hilang nilai-nilai agama Islam di tengah umat.
Al-Husain, cucu Rasulullah Saw, berada di tengah zaman yang tidak lagi mengindahkan kesucian dan keilahian. Al-Husain tidak mau larut dalam situasi buruk tersebut. Penguasa di zamannya yakni Bani Umayyah meminta legitimasi Al-Husain dalam bentuk baiat.
Tentu saja orang suci dan saleh seperti Al-Husain tidak mau memberikannya. Kemudian masyarakat Kufah, yang awalnya punya kehendak untuk melawan coba undang dengan ribuan surat kepada Al-Husain agar datang ke Kufah untuk bersama-sama melawan. Sayangnya kaum yang mengundang Al-Husain bukan orang-orang kesatria dan bukan pecinta yang siap membela dengan penuh kesetiaan. Digertak penguasa dengan pembunuhan pada orang-orang yang pro Al-Husain, langsung tidak bernyali. Ciut dihadapan algojo Bani Umayyah.
Al-Husain bersama rombongan di Karbala menagih janji orang-orang Kufah. Namun, tidak ada orang yang menyambutnya. Malah pasukan Bani Umayyah menyambutnya dengan pedang, panah, tombak, dan tidak segan memutuskan kepala orang-orang yang bersama Al-Husain. Cucu Rasulullah Saw gugur dengan tubuh penuh luka, tanpa kepala, dan bermandikan darah. Tinggal kaum wanita dan seorang putra Al-Husain yang sakit parah yang tersisa. Mereka ini digiring, dirantai, dan diperlakukan seperti tawanan perang hingga tiba di istana Bani Umayyah. Yazid bin Muawiyah, sang penguasa merasa gembira dengan gugurnya Al-Husain dan rombongan yang membelanya.
Mengapa penguasa bertindak kejam kepada keluarga Rasulullah Saw? Karena Al-Husain tidak mau membaiat sehingga ditumpahkan darahnya.