Tafsir Al-Amtsal karya Syaikh Nasir Makarim Syirazi. Terjemahan jilid 1 dan diterbitkan oleh Sadra Jakarta tahun 2015. Buku ini tebalnya 766 halaman. Mulai dari Alfatihah sampai Albaqarah ayat 187. Dikupas dengan uraian yang menarik dan relevan dengan kehidupan umat Islam kontemporer. Penulisnya populer karena seorang Marja Taklid, ulama mujtahid di Iran, yang membimbing pelajar (santri) yang menekuni bidang ilmu-ilmu agama Islam, terutama bidang hukum (fiqih).
Tafsir Amtsal ini ditulis perdana tahun 1981 dan diterbitkan kembali dengan melakukan revisi berupa kajian yang lebih luas dan dengan pendekatan asbabun nuzul, bahasa, dan mengutip keterangan hadis Ahlulbait Rasulullah Saw. Disusun dengan melibatkan sepuluh orang ulama dengan rujukan kitab Tafsir dari klasik sampai modern, baik dari kitab Tafsir ulama Syiah maupun Ahlussunnah. Dicantumkan ada 16 kitab tafsir yang dijadikan bahan untuk menyusun kitab Tafsir Amtsal.
Syaikh Nasir Makarim Syirazy menguraikan dengan terlebih dahulu mencantumkan ayat demi ayat dari Al-Quran yang hendak ditafsirkan. Sekira dua atau tiga ayat dikutip yang secara isi bersambung dan berkaitan ayat sebelum dan sesudahnya. Kemudian disajikan asbabun nuzul jika ada. Apabila tidak ada, langsung pada istilah dengan penafsiran yang lebih luas dan memberikan topik untuk diuraikan lebih lanjut. Dari setiap uraian atas ayat Alquran tersaji kurang lebih tiga sampai lima halaman. Sangat luas dan berkembang penafsirannya sampai pada pembahasan doktrin mazhab Syiah serta aspek ahkam (hukum) dan diakhir uraian dicantumkan referensi berupa kitab hadis dan tafsir yang dirujuk. Pola penulisan tersebut, saya kira menunjukkan betapa luas pengetahuan penulisnya.
Sekadar contoh, pada pembahasan Al-Baqarah ayat 62. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syirazi menyatakan pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiin termasuk yang selamat di akhirat bagi penganutnya sebelum muncul Nabi Muhammad Saw membawa Alquran, yang merupakan petunjuk yang benar dalam beragama. Menariknya, Syirazy pun menjelaskan agama Shabiin sebagai ajaran yang berasal dari Nabi Yahya bin Zakaria as. Pernah berkembang di daerah Harran (Turki). Terbagi dua golongan, yang hanif dan yang musyrik. Untuk Shabiin yang hanif, disebutkan mengambil berbagai ajaran dari agama lainnya yang baik kemudian disatukan menjadi kitab pedoman beragama. Lengkapnya bisa dibaca pada Albaqarah ayat 62.
Kemudian Albaqarah ayat 124 menguraikan doktrin Imamah sebagai kelanjutan Kenabian. Yakni mengenai Nabi Ibrahim as setelah menjalani berbagai tahapan mulai pencarian kebenaran, menegaskan Allah sebagai Tuhan kemudian diuji antara cinta anak atau Allah, dan lainnya. Setelah ujian dari Allah lolos maka ditetapkan menjadi Imam. Sehingga Ibrahim berkedudukan sebagai Nabi sekaligus Imam. Jabatan Imam itu ditetapkan hingga anak keturunannya, tetapi tidak pada yang zalim.
Dari penafsiran Albaqarah 124 ini, lahir konsep Imamah setelah Kenabian. Ini dijadikan dasar-dasar agama Islam menurut Syiah. Siapakah orang yang memulai pertama merumuskan sebagai teologi Syiah, hingga memunculkan istilah Nubuwwah dan Imamah? Nah, aspek ini tidak diuraikan oleh Syaikh Syirazy. Sebab bila dirujuk dalam Albaqarah ayat 177, istilah nubuwwah dan imamah tidak dicantumkan. Padahal yang dicantumkan (tekstual) yaitu keimanan kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat, Kitab-kitab, dan Nabi-Nabi. Dalam teologi Syiah disebutkan Tauhid, Nubuwwah, Imamah, 'Adl, dan Al-Maad. Secara maknawi atau penafsiran bisa dihubungkan pada Albaqarah 177, tetapi secara tekstual tidak tercantum. Lebih cocok dengan teologi Ahlussunnah, meski iman kepada qadha dan qadar tidak ada dalam ayat tersebut. Terkait dengan Imamah bisa dibaca pada halaman 525-535.
Sebagai tambahan untuk menjadi bahan ketertarikan membaca kitab Tafsir Amtsal ini, saya kutipkan cuplikan berikut ini:
"Dalam kehidupan kita sehari-hari, terdapat banyak contoh tentang orang-orang yang melakukan perbuatan terlarang. Lalu mereka mengakui bahwa mereka adalah pendosa dan karena itu mereka menyesal atas perbuatan dan dosa yang dilakukan. Namun mereka kembali mengerjakannya sehingga akhirnya hilang dari mereka kesedihan atas dosa, dan terkadang mencapai puncaknya di mana mereka tidak hanya bersedih, bahkan mereka merasa senang dan menilai perbuatan dosa tersebut sebagai tugas kemanusiaan dan tugas agama" (hal.108-109).
"... kata "Allah" adalah nama yang meliputi semua nama dan sifat-sifatNya. Adapun nama-namaNya yang lain, itu hanya menunjuk pada sebagian dari kesempurnaanNya, seperti kasih sayang dan penciptaan" (hal.28).
"Adapun siapa di antara para faqih yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya dan menaati segala perintah Tuhannya, maka bagi orang-orang awam wajib mengikutinya" (hal.385).
"Islam tidak melarang seseorang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan logis, dan Islam juga tidak mencegah seseorang untuk meminta diturunkannya mukjizat, sebagai pembuktian kebenaran dakwah yang disampaikan Rasulullah saw. Karena pertanyaan dan permintaan yang seperti ini adalah jalan untuk sampai kepada pemahaman, keyakinan dan keimanan" (hal.474-475).