Lihat ke Halaman Asli

Wali Faqih, Ulama Pewaris Kenabian

Diperbarui: 5 Januari 2019   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Buku "Wali Faqih: Ulama Pewaris Kenabian" karya Ali Mishkini. Diterbitkan Risalah Masa, 1991 di Jakarta. Tebal buku 74 halaman. Sebuah terjemahan dari jurnal Tawhid (Tahun 1406) dari Iran dengan judul asli "Wilayatul Faqih".

Buku ini bisa disebut pengantar untuk memahami sistem dan bentuk pemerintahan di Republik Islam Iran, yaitu Wilayah Faqih. Secara singkat bisa disebut otoritas kepemimpinan Iran dipegang oleh seorang ulama (faqih) yang membawahi presiden dan menteri. Sebutannya adalah Rahbar.

Secara teologis dirunut dari Allah, Rasulullah Muhammad Saw, dan Aimmah Ahlulbait mulai dari Sayyidina 'Ali bin Abu Thalib as sampai Imam Mahdi Al-Muntazhar as. Jumlahnya dua belas orang yang disucikan sekaligus otoritas yang diikuti oleh umat Islam. Pascagaib Imam Mahdi as, umat Islam berada dalam bimbingan para ulama yang  mumpuni dalam ilmu agama dan mengerti situasi sosial budaya di masyarakat. Sehingga para ulama ini kemudian berkedudukan sebagai rujukan bagi umat Islam, yang popular disebut Marja Taqlid.

Di Iran, otoritas teologis Wilayatul Faqih diterapkan dalam pemerintahan. Sehingga kini pemerintah dan negara Iran di bawah pimpinan seorang ulama terpilih dan memiliki kedalaman ilmu agama (faqih) yang dirintis oleh Imam Khomeini pada 1979. Kini, Iran berada dalam pimpinan Sayyid Ali Khamenei yang menggantikan posisi Imam Khomeini setelah wafat.

Proses naik ke pucuk pimpinan tertinggi di Iran, hampir mirip dengan demokrasi melalui pemilihan dari tingkat bawah lanjut ke level parlemen. Di parlemen Iran terdapat para ulama dan orang-orang yang ahli. Mereka ini dipilih oleh masyarakat.

Sedikit berbagi, Wilayatul Faqih pun mendapat sorotan berupa kritik dari anak negerinya sendiri. Di antaranya Ali Syariati dan Abdulkarim Soroush. Membaca pandangan keduanya sangat menarik dan layak direnungkan. Soroush menulis dalam buku "Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama" yang diterjemahkan dan diterbitkan Mizan. Menurut Syariati bahwa kepemimpinan negara dan pemerintahan lebih layak oleh orang tercerahkan (rausyanfikr) ketimbang seorang yang berkutat dalam agama semata.

Kembali pada buku "Wali Faqih" ini, bahwa Ali Mishkini menguraikan definisi wali, wilayah, wali, dan faqih dalam literatur hadis maupun Al-Qur'an.

Hampir seluruh uraian buku ini untuk cuplikan tentang tata aturan kenegaraan dan pemerintahan model wilayah faqih diambil dari petikan pesan Imam 'Ali kepada Malik Asytar yang menjadi gubernur.

Kemudian oleh sang penulis ditafsirkan sesuai dengan konteks dunia politik modern. Sehingga cukup mudah dipahami bahwa wilayah faqih merupakan sistem yang dirujuk dari ajaran agama Islam, yang secara khusus mengacu pada pesan-pesan 'Ali bin Abu Thalib dan para Imam Syiah lainnya.

Hanya itu yang bisa saya share. Mohon maaf hanya itu yang ditangkap dari hasil membaca tadi malam. Alhamdulillah buku "Wali Faqih" tersebut tuntas dibacanya. *** (Ahmad Sahidin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline