Sudah tak asing lagi kita mendengar perompakan di Somalia yang telah menarik perhatian dunia internasional dalam beberapa dekade terakhir. Munculnya masalah perompakan merupakan akibat dari konflik sipil berkepanjangan yang terjadi di negara bagian Afrika ini dan juga alasan kemiskinan dan wilayah perairan yang strategis di Teluk Aden sebagai jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan laut internasional serta tidak adanya kekuatan angkatan bersenjata dari Negara untuk mengontrol wilayah perairan sehingga membuat perompakan oleh para bajak laut dari Somalia menjadi sangat subur diwilayah ini.
Perompakan Somalia dimulai pada sekitar tahun 1950. Namun, masalah ini masih dikategorikan sebagai gangguan dalam negeri, sehingga belum mendapat sorotan dari dunia luar. Tindakan perompakan mulai marak terjadi semenjak Somalia mengalami pergolakan politik dan perang sipil saat runtuhnya rezim dictator Mohamed Siad Barre pada bulan Januari tahun 1991. Para perompak Somalia banyak berasal dari para mantan milisi, nelayan lokal dan pemuda-pemuda pengangguran yang ikut serta turun kelaut untuk meminta pungutan dari sejumlah kapal yang melakukan aksi penangkapan ikan secara illegal dan pembuangan limbah di sekitar perairan Somalia.
Kemiskinan juga menjadi salah satu pendorong para nelayan-nelayan lokal dan pemuda-pemuda pengangguran ini memilih untuk menadi perompak karena perompakan yang dilakukan di perairan somalia ini dapat memberikan penghasilan yang menjanjikan. Seiring dengan kegiatan mereka yang terus merompak kapal-kapal pukat dan pembuang limbah yang melintas untuk dikenai pungutan denda oleh para perompak kemudian menjadi semakin terbiasa untuk melakukan aksinya tersebut.
Pada periode-periode awal perompakan ini mereka menaiki kapal-kapal asing yang mereka anggap sebagai kapal pukat penangkap ikan untuk mendenda dan meminta pungutan sejumlah uang dengan mengaku seabagai relawan penjaga pantai Somalia atau sebagai anggota mariner Somalia yang menjaga wilayah laut. Namun dari waktu ke waktu perompak modern mulai tidak tertarik lagi merampas barang atau menarik denda, mereka menjadi makin profesional dengan menyandera sejumlah awak kapal dan kemudian meminta tebusan pada pihak perusahaan pemilik kapal. Pasca peristiwa perompakan pertama pada kapal Bonsella tahun 1994 yang menggunakan kapal Bonsella untuk kemudian menjadikan kendaraan dalam melancarkan perompakan pada kapal-kapal lainnya yang lebih besar tidak berhasil. Selanjutnya para pembajak sampai periode sebelum tahun 2005 hanya mampu melakukan aksinya pada kapal-kapal dhow kecil, kapal penangkap ikan, kapal tongkang atau sesekali pada kapal pesiar yang melintas dalam skala yang tidak begitu jauh dari lepas.
Pada pasca era tahun 2007, para perompak menjadi semakin masif dalam membajak kapal-kapal yang melintas di perariran Teluk Aden dan lepas pantai Somalia. Hal ini dikarenakan kegiatan perompakan telah berkembang menjadi terorganisir dan sistemis. Perkembangan ini dimungkinkan karena sebagian dari hasil aksi pembajakan di investasikan lagi pada pembelian peralatan pendukung guna memperlancar aksi perompakan.
Dalam melaksanakan oprasinya, para perompak yang merupakan kombinasi dari mantan milisi, para nelayan dan pemuda pengangguran serta negosiator yang mengatur komunikasi, meskipun sebagian besar dari mereka tidak memiliki kualitas pelatihan yang cukup. Namun para perompak moderen menggunakan perahu ringan cepat. Mereka menunggu hingga 50 mil laut dari lepas pantai untuk kapal-kapal berukuran besar yang ditargetkan diserang dan lebih memprioritaskan sandera dari pada menjarah kargo. Selanjutnya mereka melakukan patroli dalam skala yang lebih jauh, mereka bahkan menggunakan kapal pukat ikan yang lebih besar sebagai "kapal induk". Dimana kapal induk ini berfungsi membawa beberapa perahu cepat dan serta senjata api otomatis yang cukup canggih (biasanya AK-47 dan, roket peluncur jenis RPG-7)
Berdasarkan data dari World Bank diperkirakan terdapat sekitar US $ 339 juta diklaim pernah dibayarkan dalam bentuk tebusan antara periode April 2005 dan Desember 2012 karena tindakan perompakan di seputar Tanduk Afrika. Perkembangan bisnis perompakan yang meningkatpesat tidak hanya berdampak pada korban kerugian bagi para pelaut dan perusahaan pelayaran, namun juga berdampak pada terganggunya stabilitas kawasan dan ekonomi global. Bisnis perompakan yang berkembang membuat perputaran arus uang dalam jumlah besar yang juga berimplikasi pada investasi untuk bisnis kejahatan lain serta tindakan pencucian uang, Hal yang sangat menarik dari keberhasilan para perompak Somalia mendapatkan uang tebusan dalam bisnis ini ternyata mempunyai fakta lain yang mencengangkan. Dimana hanya sedikit dari uang tebusan yang dibayarkan dimiliki oleh para perompak. Hal ini dikarenakan oleh para pejabat pemerintah yang korup bekerjasama memfasilitasi perompak di pelabuhan dan kelompok-kelompok bersenjata yang mengontrol bagian tertentu dari sebuah wilayah, terutama di Puntland yang juga memiliki saham terhadap bisnis perompakan ini.
Faktor-faktor penghambat bajak laut di Somalia, Tidak adanya hukum yang kuat yang mengatur mengenai pembajakan dan juga ada faktor non hukum, seperti kemiskinan, baik di dalam negeri Somalia maupun di negara-negara tetangga seperti Djibouti dan Yaman. Faktor non hukum lainnya adalah tidak efektifnya pemerintah pusat Somalia dalam mengatur negara dan warga negaranya. Faktor lainnya juga adanya dugaan al-qaeda berada di balik bajak laut tersebut, walaupun hal ini masih layak untuk diperdebatkan. Akar permasalahan munculnya bajak laut adalah kemiskinan, hanya dengan meminimalisasi kemiskinan akan dapat menurunkan atau bahkan mereduksi serangan bajak laut Somalia. Kemiskinan di negara-negara Afrika hanya dapat diturunkan dengan kerja sama masyarakat internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H