Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Rofik

Seneng Belajar

Membangun Transparansi Informasi Pelayanan Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Baru saja kita memperingati Hari Right To Know (Hak Untuk Tahu) 28 September 2013.  Tahun ini adalah tahun kesebelas peringatan Hak untuk Tahu, sejak diusulkan pada 28 September 2002 pada pertemuan internasional organisasi yang memperjuangkan kebebasan informasi publik di Sofia, Bulgaria.  Tak kurang dari 60 negara sudah melanjutkan semangat itu dengan bergabung pada inisiatif global Open Government Partnership (OGP), termasuk Indonesia.  Bahkan tidak tanggung-tanggung, Indonesia menjadi salah satu perintis gerakan global yang dideklarasikan pada 20 September 2011 ini.  Posisi Indonesia semakin kuat ketika mulai September 2012 selama satu tahun, terpilih sebagai salah satu supporting co-chair OGP.  Dan sebuah kemewahan bagi bangsa ini akan segera disandang, pada Oktober 2013 mendatang, Indonesia akan menjadi lead chair OGP, pimpnan utama gerakan transparan informasi berskala internasional ini.  Yang lebih mengesankan karena kesadaran transparan itu datang dari pemerintah sendiri.

Dalam konteks dunia pendidikan, bagaimana transparan informasi telah bekerja?  Diantara puncak manfaat pelayanan informasi adalah ketika masyarakat bisa mendapatkan manfaat langsung dari informasi yang diperoleh.  Terkait dengan hal ini, ada dua kategori informasi yaitu pertama informasi yang langsung bisa dikonversi menjadi manfaat langsung (seperti tentang besaran Bantuan Operasional Sekolah –BOS) yang dierima sekolah/ unit layanan pendidikan, dan kedua informasi yang masih membutuhkan pelayanan publik lanjutan seperti informasi kuota beasiswa yang mensyaratkan pelayanan administrasi seleksi beasiswa yang berkualitas dan tranparan, serta informasi lelang pengadaan barang dan jasa yang mensyaratkan pelayanan pemilihan penyedia jasa secara profesional pula.

Puncak manfaat pelayanan informasi lainnya adalah meningkatnya akuntabilitas institusi pendidikan.  Contoh menarik diperlihatkan oleh kisah Community Center (CC) Perempuan Bersatu di salah satu desa kawasan timur Indonesia. Community Center merupakan kelompok warga yang sadar akan manfaat informasi. CC ini mengajukan permintaan informasi kepada dinas pendidikan dan olahraga setempat, informasi Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis (Juknis Juklak) Pemberian Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang merupakan program pendamping BOS.  CC yang menerima keluhan dari warga sekitar, curiga kepada salah satu sekolah yang meminta bagian kepada para calon siswa penerima BSM dengan alasan untuk biaya administrasi dan pembangunan.  Pihak dinas kemudian memberikan informasi yang diminta tersebut dan mengajak CC dialog. Intinya BSM tidak boleh dikurangi/dipotong, dibagi rata kepada semua siswa atau disalahgunakan oleh sekolah.

Selang sehari setelah CC membagi informasi Juklak dan Juknis di atas, masyarakat melaporkan sekolah tersebut kepada dinas pendidikan setempat karena berniat memotong dana perolehan BSM kepada siswa yang menerima.  Atas dasar aduan tersebut dinas pendidikan setempat memanggil kepala sekolah yang bersangkutan dan memerintahkan untuk tidak melakukan pemotongan sekaligus memberikan teguran tertulis.  Hasilnya, bantuan beasiswa BSM tidak jadi dipotong, jumlah yang ditermia sesuai dengan juklak dan juknis BSM. Dalam skala yang lebih besar, tranparansi informasi itu menjadikan orang harus berfikir seribu satu strategi untuk melakukan korupsi agar tidak diketahui oleh publik.  Dengan demikian jenis informasi ini juga berkontribusi pada penanggulangan terjdainya praktik korupsi dan kesalahan administrasi lainnya (maladministrasi).

Selintas mentransparansikan jenis informasi seperti di atas terdengar begitu mudah, karena sebetulnya jenis informasi ini adalah hasil dari pengelolaan administrasi yang baik dan berkualitas.  Namun, untuk sampai pada tingkat badan publik (dinas pendidikan selaku penyedia layanan publik) mampu memberikan jenis informasi seperti di atas, membutuhkan sejumlah tahapan dan integritas para pengelola layanan informasi.  Dalam bahasa sederhana dibutuhkan petugas yang memiliki nurani dan misi suci agar pelayanan pendidikan berkualitas dan terus-menerus menyempurnakan diri.  Bukan saja untuk membuka dan mentransparansikan informasi, nmun juga untuk memproduksi informasi itu sendiri.  Petugas (badan publik) ini sudah tidak lagi merasa dibebani dengan kekhawatiran jika informasi itu dibuka maka akan ada banyak pihak termasuk atasannya yang akan menjadi “korban”, atau bahkan berkurang “lahan” pendapatan tidak resminya.

Dalam bahasa sistem pelayanan, diperlukan insentif yang memotivasi petugas untuk berperilaku penuh integritas.  Insentif bukanlah semata-mata berbentuk material atau tambahan honor namun dukungan, iklim kerja yang menghargai inovasi dan kepuasan dalam bekerja, kenaikan jenjang karier juga termasuk insentif.  Sistem insentif itu juga berkaitan dengan visi dan komitmen kepemimpinan pada dinas pendidikan.  Sistem insentif yang bukan berbasiskan pada material ini namun lebih pada kepuasan mengembangkan integritas, tidak akan tumbuh di bawah kepemimpinan yang buruk.

Kedua jenis model manfaat di atas, yaitu masyarakat bisa mendapatkan manfaat langsung dari informasi yang diperoleh dan peningkatan akuntabilitas institusi pendidikan, rupanya menjadi salah satu sasaran inisiatif gerakan global OGP. Kenyataannya, belum banyak cerita indah bisa didengar dari pelaksanaan keterbukaan dan tranparansi informasi pelayanan pendidikan.  Pada  20 kabupaten dan 5 provinsi yang sebagian besar terletak di kawasan Timur Indonesia yang pattiro bekerja, transparansi informasi masih pada tahap penyiapan infrastruktur kelembagaan yang dikenal dengan Pejabat Pengelola Infomrasi dan Dokumentasi (PPID) tingkat Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD).  Dari 25 pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi) baru 11 daerah (44%) yang membentuk PPID Dinas Pendidikan.

Keberadaan infrstruktur kelembagaan PPID itu jika disandingkan dengan kondisi tranparansi informasi pendidikan secara teoritis tentu berhubungan.  Tiga belas dinas pendidikan dari dua puluh lima daerah yang menjawab assesment cepat tentang perlakuan dinas atas 14 dokumen perencanaan dan penganggaran memperkuat dugaan hubungan keterkaitan yang erat.  Rata-rata dinas pendidikan daerah memposisikan 12 persen dari 14 dokumen sebagai dokumen yang  sudah dipubilasi secara pro aktif;  84,2 persen sebagai dokumen publik yang dapat diakses melalui permintaan; dan sisianya 3,8 persen diperlakukan sebagai bukan dokumen yang dapat diakses oleh publik (sumber: baseline survey PATTIRO, Januari 2013).

Antar dinas pendidikan di 13 pemerintah daerah juga tidak memiliki kesamaan dalam memperlakukan jenis dokumen apa yang tidak dapat diakses oleh publik.  Sejumlah dokumen teridentifikasi sebagai  dokumen yang dapat diakses oleh publik yaitu: Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS), Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD), Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), Peraturan Kepala Darah tentang Penjabaran APBD, Peraturan Kepala Darah Penjabaran APBD Perubahan, Laporan Realisasi, informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD).  Padahal kalau mengacu pada aturan yang ada keempat belas dokumen itu tergolong jenis dokumen publik yang dipublikasikan secara berkala, artinya dinaslah yang semestinya secara pro aktif mempublikasikan dokumen itu.

Fakta di atas menunjukkan bahwa capaian tranparansi informasi pelayanan pendidikan di daerah sebagaimana disebukan di atas belum bisa memenuhi puncak manfaat yang dicita-citakan inisiatif gerakan global OGP, yaitu masyarakat bisa mendapatkan manfaat langsung dari informasi yang diperoleh dan meningkatnya akuntabilitas institusi penyelenggara layanan pendidikan.  Dinas pendidikan masih berada pada level mengupayakan pemenuhan hak masyarakat mendapatkan informasi (rigt to information). Stretegi umum yang dilakukan adalah melalui pemenihan kepatuan terhadap 17 mandat UU KIP mulai dari membentuk PPID, menyusunan sistem pelayanan informasi, standar prosedur operasional, menetapkan klasifikasi informasi publik dan informasi yang dikecualikan, melengkapi dengan pegawai, dan penyediaan sarana prasarana untuk dapat memberikan pelayanan informasi, serta aturan teknis pelayanan lainnya. Level ini sekaligus menjadi penanda bagi perspektif right to information yang lebih mengedepankan pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.  Perspektif ini mementingkan pemenuhan hak, dan tidak mengutamakan kualitas dampaknya.

Sedikit berbeda demgan perspektif right to information, perspektif akses kepada informasi (access to information) mengutamakan  manfaat transparansi informasi, yaitu masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari informasi yang diperoleh dan meningkatny akuntabilitas institusi pelelenggara latanan pendidikan. Dua jenis puncak kemanfaatan itu mengandaikan terpenuhinya prasyarat yang dikenalkan insiatif OGP yaitu adanya inisiatif pemerintah untuk transparan secar pro aktif dan dalam waktu yang bersamaan menggandeng partisipasi masyarakat.  Secara teknis dibutuhkan petugas pelayanan informasi yang telah khatam atas persoalan visi dan misi menjadi pegawai sehingga bisa berinovasi untuk sebaik-baiknya memberikan pelayanan kepada publik.

Mencermati fakta bahwa transparansi informasi pelayanan pemdidikan di daerah belum purna pada level right to information namun juga sudah dikenalkan dengan perspektif access to information, maka bolehkan kita mengambil manfaat dari peristiwa ini.  Pertama, agar capaian level right to information bisa berkontribusi pada level access to information maka penyiapan infrastruktur pelayanan informasi jangan hanya asal memenuhi mandat UU KIP, namun harus berkualitas dan mendukung pencapaian paltform access to information. Titik pentingnya adalah sistem insentif yang akan diterima petugas pelayanan informasi ini bukanlah jenis insentif berbasikan material, oleh karena itu pemilihan petugas dan penempatan struktut pengelola unit pelayanan informasi dalam pengertian struktur pemerintahan menjadi penting.  Kedua, pelayanan informasi yang berkualitas memang menjadi prasyarat penyelenggaraan pelayanan dasar pendidikan (secara teknis), namun bukan berarti bahwa pelayanan informasi yang baik serta merta akan meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.  Antara kedua pelayanan ini harus berjalan seiring sejalan.  Bisa saja pelayanan informasi akan berdampak pada peraikan pelayanan pendidikan, namun harus mampu mengungkit partisipasi masyarakat.  Masyarakat yang mendapatkan informasi yang berkualitas akan menuntut perbaikan pelayanan pendidikan.  Ketiga, pentingnya kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi mitra penerima manfaat terbesar dari tranparasi informasi sekaligus menjadi mitra dalam membangun relasi permintaan informasi yang berdampak pada pembangunan integritas badan publik.  Karena tidak akan ada akuntabilitas tanpa akses informasi yang baik kepada masyarakat.

Ahmad Rofik, Monitoring dan Evaluasi Officer PATTIRO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline