Anggota Parlemen Remaja, Ahmad Ripqi angkat bicara terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilu. Putusan sangat tidak normal dan bisa membuat gaduh Masyarakat dan Negara.
Ahmad menilai putusan tersebut tidak rasional dan tidak memberikan pendidikan hukum yang baik kepada masyarakat. Serta tidak mencerminkan putusan yang berkualitas menurut Undang Undang.
"Lahh....Ini Hakim yang sakit jiwa atau gimana ini? Hal ini sudah jelas bertentangan, sangat tidak rasional secara konstitusional karena jelas bahwa Pesta Demokrasi selali diadakan setiap 5 tahun sekali. Apalagi, Pemerintah, KPU, dan DPR semuanya sudah sepakat tanggal 14 Februari. Lalu kenapa Hakim mengabulkan gugatan ini? Ujar Ahmad saat diwawancarai lewat Whatsapp (03/03/2023)
Ahmad pun menilai soal putusan Hakim PN Jakpus terkait penundaan Pesta Demokrasi tersebut yang dinilai sangat tidak rasional dan melenceng dalam aturan Undang-undang
"Rasanya sangat aneh dan kocak terkait keputusan ini, seharusnya Majelis hakim memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana memberikan putusan berkualitas yang dimana itu mencerminkan integritas dan kemampuan Hakim di dalam memutuskan hasil perkara" Ujar Sang Anggota.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sebelumnya memutuskan menerima gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) pada Kamis (02/03/2023). Lewat putusan itu, Majelis Hakim berpendapat agar Pemilu 2024 ditunda.
"Saya merasa putusan ini sangat jelas dan salah secara hukum (cacat hukum). Kalau mau Permohonan penundaan Pemilu jangan yang melaporkannya hanya satu pihak saja, tapi harusnya semua Partai sepakat jika ingin mengajukan perubahan tanggal Pemilu, dan harus disepakati oleh KPU dan di ketuk palu oleh DPR-RI dengan alasan yang sangat rasional. Lanjut Ahmad.
Untuk itu menurutnya, Ahmad apresiasi pihak KPU yang mengajukan banding dan negara harus serius menyikapi persoalan tersebut dan bila perlu sampai kasasi untuk putusan perdata PN Jakarta Pusat atas gugatan PRIMA terkait verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini.
Selain itu, Ahmad pun menyoroti Hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan PRIMA soal verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 ini mencampuradukkan hukum data dan hukum administrasi. Bahkan, hakim dalam perkara ini telah ikut campur pada persoalan pemilu yang sama sekali bukan kewenangannya dan bukan urusannya.
"Seharusnya yang berwenang adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan berbasis daerah. Apabila ada sengketa tentang ranah pemilu maka yang berwenang adalah MK," ulang Ahmad secara Tegas.