Lihat ke Halaman Asli

Menyimak Ahok

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418011070715955513

Sejak awal kadatangannya di DKI Ahok memang menarik perhatian, mungkin konsekuensi dari didaulatnya ia sebagai pendamping Jokowi yang lebih dulu heboh diperbincangkan di banyak media. Terlebih saat Jokowi cuti nyapres, Ahok semakin leluasa beraksi, sebagai plt Gubernur Ahok nampaknya benar-benar memanfaatkan momen ini untuk ekting-ekting layaknya seorang Gubernur, menyajikan pola kepemimpinan gaya Ahok sebelum benar-benar menjadi Gubernur.

Sebagai tokoh yang muncul dari kalangan minoritas, Ahok bisa dikatakan sebagai ujian sikap pluralisme masyarakat kita terutama bagi warga Jakarta sebagai etalase negara, dan nampaknya ujian ini telah dilewati denga baik, selain karena masyarakat kita yang semakin dewasa, juga karena performa Ahok yang genuine dengan medan sosial-politik ibu kota.

Ahok dan Nasionalisme

Pernah suatu ketika Ahok bercerita kepada pemirsa Satu Jam Lebih Dekat, tentang keinginannya menjadi pengibar bendera merah-putih sebagai petugas upacara di sekolah. namun hasrat itu tak pernah kesampaian hingga saat ini, lantaran rasisme yang saat itu masih diketam buah tanam penjajah. Tapi seperti kata Ahok: yang penting jadi inspektur upacara 17-an saya bisa. itu sudah cukup untuk menjawab hasratnya.

Nasionalisme bukan hanya soal bendera dan upacara, nasionalis sejati ialah mereka yang bisa memberi kebermanfaatan bagi negara. Menjelmanya Ahok menjadi politisi sejak di kampung halamannya Belitung Timur sebagai sikap Nasionalisme Ahok untuk  memberi kebermanfaatan bagi masyarakat, disusul prestasinya mendapat penghargaan tokoh anti-korupsi menjadi catatan tersendiri bahwa Ahok tak (ingin) mengkhianati rakyat. Baginya, apa yang telah ia lakukan selama menjadi Bupati, anggota DPR, dan Wakil Gubernur, cukup mendedahkan makna nasionalisme yang ia pahami di tengah-temgah keraguan publik atas keindonesiaannya. (Fenomena) Ahok hanyalah bagian kecil dari jutaan realitas keberagaman masyarakat Indonesia, masyarakat yang idealis pada kemajemukan. dengan demikian, perdebatan etno-religi bukan lagi hal yang perlu dikemukakan.

Ahok dalam pusaran politik

Keterlibatan Ahok dalam "permainan" politik dimulai sejak ia menjadi anggota legislatif periode 2004-2009 di Belitung timur, di daerah yang sama tahun 2005 Ahok maju sebagai Cabup dan akhirnya terpilih dengan suara mayoritas. Hasrat Ahok untuk maju Cagub Bangka Belitung ia tuntaskan saat ia memilih maju pada pilkada 2007 meski akhirnya kandas dalam pertarungan. Tak berhenti di situ, tahun 2009 Ahok menjadi anggota DPR RI komisi II, yang kemudian di tahun 2012 Ahok maju mendampingi Jokowi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Manuver Ahok akhir-akhir ini cukup menghebohkan, "Coboy Jakarta" ini sejak menjabat wakil gubernur dan plt gubernur memberikan cukup banyak terobosan pembenahan, bekerja layaknya seorang coboy, Ahok nampaknya tidak peduli apa yang akan dikatakan publik padanya. "waktu saya tidak lama di sini, gue kerjain yang harus dibenahi, yang gak suka gak usah pilih gue lagi." Begitulah tanggapannya. "Saya sekarang concern aja kejar target beresi Jakarta tiga tahun." Komit pria yang masuk dalam 10 tokoh yang mampu mengubah Indonesia versi majalah Tempo ini.

Menyimak Ahok di beberapa media, sering kali kita terkejut akan statemen-statemen Ahok yang terkesan ketus dan arogan, tapi jika kita dalami kembali, justru statemen semacam itulah yang kemudian disebut oleh Soe Hok Gie sebagai kata-kata yang paling puitis, karena mengandung kejujuran. Statemen ini bisa juga menjelma menjadi quote-quote yang menarik untuk disimak maknanya. Sebagai politisi Ahok tak memakai teknik bahasa diplomatis seperti kebiasaan banyak politisi, ketika "dimintai keterangan": mengalir, apa adanya. "Yang gak becus, gue pecat aja." Pungkasnya.

Pergulatan politik beberapa hari ini pasca kemenangan Jokowi sangat menarik disimak, dalam perbincangan politik kita akhir-akhir lebih banyak berkutat pada anatomi pemerintahan baru dan pertarungan kubu koalisi, salah satu bagian sub-perbincangan itu adalah tentang Ahok. Posisi strategis DKI pasca ditinggal Jokowi menjadi jatah Ahok, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Tapi yang selanjutnya akan simak adalah manuver politik Ahok menyikapi perang antarkubu koalisi. Keputusan Koalisi Merah Putih untuk mengubah sistem Pilkada kembali dipilih DPRD telah memantik perdebatan serius dengan kubu pengusung Jokowi-JK. Perdebatan ini bak bola liar yang siapa saja bisa "menendang", sebuah keputusan yang ditaksir akan melibatkan rakyat secara umum tanpa pandang belang-partai politik.

Lalu bagaimana dengan sikap Ahok? "Keterwakilan rakyat itu tidak bisa melalui 'calo'. Jadi, rakyat langsung yang memilih wakilnya," ujar Ahok. Dalam hal ini Ahok mengambil sikap politik pribadi. Rasionalitas yang ia usung bukan rasionalitas kolektif Kubu Merah-Putih, tapi rasionalitas individu sebagai bagian dari rakyat. Penolakan terhadap RUU ini berimbas secara politik bagi Ahok, sikap ini kemudian membikin gerah parpol pengusungnya. Jual-beli serangan urat saraf pun tak bisa dibendung, pemberitaan berkali-kali mengangkat perseturuan antara Ahok vs Parpolnya sendiri. "Kalau lewat DPRD, saya keluar," tegas Ahok. "Ahok ngawur, tak beretika, kutu loncat," balas Fadlizon. "Sudah basi. Dari dulu saya memang sudah 'kutu loncat' kok," TangkisAhok- lucutapibernas.

Soal penolakan RUU ini, sebetulnya Ahok tidak sendirian, ada banyak politisi yang berseberangan dengan keputusan partai pengusungnya, sebut saja Ridwan Kamil, Nur Mahmudi Ismail, Bima Arya, Herman HN, dan lainnya. Dari merekalah pula kita lihat bagaimana seni keberpihakan itu, berpihak kepada rakyat bukan pada golongan. "Tanggung jawab saya kepada rakyat, kepada DPRD tidak. Saya menolak menjadi gubernur hasil pemilihan DPRD. Karena saya enggak mau jadi budak DPRD. Saya maunya jadi budak rakyat," tegas Ahok.

Ahok memang fenomenal, Coboy Jakarta yang berani melawan arus. Dari sekian banyak petualangannya, tentu ada begitu banyak lagi perjalanan-perjalanan lainnya yang mesti disimak dalam menilai baik atau buruknya Ahok, terutama saat dia berkiprah untuk Ibu Kota. Selebihnya, kembalilah ke nurani.

"Orang benar dan penipu sama-sama akan mati. Masalahnya orang mau memilih mati sebagai pembohong atau sebagai orang benar. Tapi saya tidak mau mati konyol sebagai pembohong. Karena itu saya akan berusaha untuk hidup dan berbuat dalam kebenaran." #BTP Basuki Tjahaja Purnama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline