Lihat ke Halaman Asli

Buku Sesat, Bikin Generasi Tak Sehat

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14233719501042678322

Beberapa hari lalu, jagat online dikejutkan dengan adanya kiriman perihal buku remaja bertajuk "pacaran". Buku ini menggeliat menjadi perbincangan masyarakat setelah salah seorang penggiat FB menggunggah foto sebuah buku berjudul "saatnya aku belajar pacaran", sontak unggahan tersebut menjadi sasaran massa FB lantaran isi dan subtansi buku tersebut jauh melenceng dari esensi pendidikan, alih-alih mendidik, malah menjadi penganjur demoralisasi generasi remaja kita. Walhasil, hujatan dan kecaman membanjiri nama penulis dan penerbit buku tersebut. Terutama pada halaman buku yang bertema solusi ketika diajak pacar ML.

Fenomena buku liar dan menyesatkan bukanlah kejadian baru dalam dunia pendidikan kita, bahkan buku yang diterbitkan oleh pemerintah-pun pernah menjadi bulan-bulanan masyarakat. Sayangnya, beragam tanggapan miring dan penolakan kultural oleh masyarakat kita itu, justru tidak menyurutkan beterbitannya buku-buku liar lagi menyesatkan itu.

Tinjauan Ideologis

Pepatah mengatakan, "apa yang anda tulis adalah apa yang anda pikirkan". Dengan demikian, semakin kiri pemikiran seseorang, semakin jauh tulisannya dari kekananan. Pemikiran inilah yang kemudian dapat menjelma menjadi sesuatu yang menyesatkan atau mencerahkan, tergantung maqom ideologis empunya tulisan.

Menyimak isi buku yang sedang kita bicarakan ini, tentu kita dapat menilai secara gamblang bahwa buku ini berangkat dari pemikiran yang sangat tidak kompatible dengan stukrtur budaya, nilai religi, dan tujuan pendidikan nasional.

Secara prinsip misalnya, penganjuran pacaran sudah termasuk dalam penyimpangan akhlak islami, dalam Alquran disebutkan: ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat (An – Nur, 24:30).

Baiklah. Taroklah, penulis buku ini bukan orang yang beragama atau tidak berpaham islam sehingga ia dapat berdalih bahwa buku ini plur untuk segmentasi non-islam atau kelompok liberal. Namun, secara umum, mengajarkan perilaku buruk tidak akan diterima oleh sebagian besar ajaran yang masih memiliki sisi humanisme, sekecil apapun itu. Apalagi jika kita tengok dalam bingkai keindonesiaan yang begitu kental dengan budaya ketimurannya.

Sebuah keheranan tersendiri, ketika masih ada saja yang berani menyuarakan kesesatan, terlebih menunyentuh segmentasi remaja kita. Bagaimana peran pemerintah dalam menakar peredaran buku-buku dekontruktif bagi pembangunan karakter bangsa ini?. Sejauh ini memang kita rasakan belum ada sistem sensor yang ketat untuk mengawasi aktivitas literasi kita, saat ini masih terkesan adanya pembiaran.

Secara psikologis

Seperti yang sering diungkap oleh para psikolog, Usia remaja merupakan usia yang rentan terhadap turbulensi mental. Remaja juga identik dengan rasa keingintahuan yang tinggi pada sesuatu yang belum lernah dipelajari di rumah atau sekolah. Sehingga untuk memenuhi hasrat keingintahuannya itu, para remaja kerap mencari sendiri baik itu lewat mindstream media yang dia lihat, dia dengar, dan dia baca.

Buku, sebagai salah satu media informasi yang paling "dianggap benar" akan menjadi juru kunci utama dalam pembentukan pola pikir anak-anak. Dengan demikian perlu adanya pendampingan khusus dalam memilihkan buku yang layak untuk dibaca oleh anak. Orangtua dan guru harus berada digarda terdepan dalam mengawal hal ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline