Tiba-tiba diingatkan oleh teman: Buku 'Creative Writing' karya Mas Sulak (AS. Laksana) ada di tangan dia. Kurang tau dia pinjam kapan dan saya juga gak ada niat memintanya. Ya, sudah, lain kali toh saya bisa membelinya lagi.
Tapi entah mengapa, momennya tepat. Hari ini saya diminta oleh salah seorang teman untuk menemani santri untuk latihan "berliterasi". Aneh, sih. Masak berliterasi perlu dilatih! Dan, saya pula pelatihnya. Belum kelasnya.
Buku karya Mas Sulak yang sudah naik cetak lima kali itu, sungguh menggugah. Dia cuma bilang: "Apapun profesi Anda menulislah! Intinya nulis aja, jangan pikir hasilnya. Ia menasihatkan: tangan harus didekatkan dengan otak. Pasalnya, teman dekat otak, ialah tangan. Pak Tani punya ide di otak, di akal, tangan yang merealisasikan. Bu Dokter, pun, begitu. Ada isi di otaknya yang harus ia "keluarkan" untuk proses pengobatan.
Kalimat yang sangat menyihir! Tiap-tiap tulisan ada audiensnya, kok. Ada yang butuh dengan tulisanmu, walau barangkali sangat sederhana itu tulisan. Kasihanilah tanganmu bila ia tidak diolah-ragakan dengan menggerakkan pena atau mengetik keyboard komputer.
Kalau kata Pak Sapardi Djoko Damono, sang penyair cum akademisi, malah jadi aneh kalau semua orang di dunia ini ingin menjadi penulis. Beliau justru menyarankan untuk banyak baca, saja. Baca sebanyak-banyaknya buku-buku bermutu. Bisa nulis itu bonus. Tapi, kayaknya kalau menulis ringan, berupa catatan ringkas soal hasil bacaan kita pada sebuah buku, tampaknya akan memaksa kita untuk menulis. Kalau gak punya minat mengarang artikel, cerpen, dll, minimal punya minat menulis catatan ngaji, kuliah, atau hasil bacaan.
Dalam satu podcastnya, Martin Suryajaya, salah satu dosen di IKJ, mendedahkan makna literasi. Katanya, literasi gak hanya soal baca-tulis.
Di Eropa Abad 16/17, tukas Martin, lahir republik literasi bersamaan ditemukannya mesin cetak. Buku yang awalnya dicetak dengan cara disalin, pada saat itu bisa diproduksi secara masal. Kafe-kafe di eropa, lepas itu difungsikan sebagai ruang untuk berdiskusi, berdialektika, dan bahkan berdebat. Tak sedikit ada yang saling lempar kursi, bahkan baku hantam.
Pertanyaannya: apa yang mereka diskusikan pada konteks itu? Martin bilang, mereka mendiskusikan sastra, seni, fisafat, sejarah dan bagaimana tiga cabang disiplin itu berdialektika membentuk kebudayaan.
Untuk membangun literasi, anak-anak Indonesia, nampaknya, harus didekatkan dengan empat hal yg telah disampaikan martin: sastra, seni, filsafat, dan sejarah.
Dalam konteks pesantren, disiplin-disiplin di atas dapat diulas, didedah, dan didiskusikan di dalam kegiatan non-formal, seperti kelompok literasi atau forum perpustakaan.
Saya jadi teringat Gus Fayyadhl, direktur Ma'had Aly Nurul Jadid, yang juga seorang pakar pemikir filsafat-posmo: Jaques Derrida; beliau menyuplai bacaan-bacaan filsafat, seni, sastra, dan sejarah umum di rak perpustakaan pesantren yang beliau asuh.