Lihat ke Halaman Asli

Budaya Ilmu dan Kemajuan

Diperbarui: 28 Juli 2024   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Budaya Ilmu dan Kemajuan: Pengantar untuk peserta DA literacy Club
Oleh: Ahmad Rifai (Guru Ngaji PPM Daarul Arqom Klaten )

Tidak diragukan lagi bahwa kebangkitan sebuah bangsa—dalam skala besar dan kecil: komunitas sosial, budaya, pendidikan—pasti ditopang dengan ilmu. Oleh sebab itu segala hal yang terkait ilmu Allah apresiasi cukup besar berupa posisi yang tinggi dihadapan tuhannya dan sekaligus didepan manusia artinya didalam sebuah masyarakat dia diberi kepercayaan untuk menyelesaikan berbagai macam problem sebagai akibat logis kemampuannya mengurai problem yang terjadi dimasyarakat.

Dengan mengacu pada sepak terjang sejarah peradaban islam yang meluas dari timur hingga barat—eropa sampai asia— meskipun masing-masing mengalami evolusi yang unik mengacu pada kondisi sosial, budaya, geografi yang berbeda sebetulnya memiliki esensi yang sama dalam melakukan transformasi. Dalam upayanya melakukan perubahan selalu diawali dengan satu embabakan penting didalam memperbaiki masyarakat: memperbaiki tradisi keilmuan/ mencintai ilmu.

Kita bisa melihat didalam tarikh (sejarah) Nabi pada fase pertama di Mekah ayat yang pertama kali turun membicarakan tentang membaca padahal saat itu ayat al-qur'an belum turun semuanya, disitu mengisyaratkan bahwa disamping terdapat ayat qouliyah yang berupa teks ayat pun juga terdapat ayat kauniyah yang perlu dibaca sebab memiliki pelajaran penting bagi kehidupan manusia. Ayat-ayat kauniah itu yang kemudian melahirkan banyak sekali cabang ilmu: Ilmu-ilmu eksak dan sosial.

Tidak ada yang menyangsikan lagi bahwa peradaban islam mulanya adalah peradaban manusa yang hidup di bumi yang tandus, gersang, panas—dimadinah tidak sepanas makkah—mampu menyingkirkan dua imperium besar yang pada era itu menjadi negara superpower—lebih lengkap bisa merujuk ke surah al-Rum. Kita ibaratkan dalam konteks kita hari ini seperti amerika serikat atau cina yang mampu menjadi negara adidaya. Islam yang memiliki cita-cita liberation—merujuk pada pemikiran kuntowijoyo—memiliki tanggung jawab menebar kebaikan dan menolak kemungkaran.

 Dengan demikian setelah beberapa waktu Nabi dan para sahabat memiliki kekuatan militer, ekonomi, politik yang memadahi sudah mulai mengirim surat ke para penguasa seperti: raja habasyah, dan para kepala suku dijazirah arab. Nabi yang memiliki kepentingan defensif terkadang juga perlu mengangkat senjata untuk melakukan pertahanan, bahkan sempat melakukan penyerbuan ke tabuk melawan romawi timur.

Pada masa awal perjalanan dakwahnya beliau Rasulullah merevisi besar-besbesar-besaran dalam ranah etika, politik, estetika, spiritual menuju transformasi yang lebih baik lagi dan lebih manusiawi; kita bisa membaca dalam sejarah islam betapa respon orang arab pada saat itu yang mulai panas melihat banyak sekali tradisi nenek moyang yang mulai direkonstruksi. Bangsa arab yang saat itu menjadi masyarakat tidak bermoral ditandai dengan penguburan bayi perempuan secara hidup-hidup, menjadikan wanita seperti budak suaminya, memperlakukan budak secara imoral, karena mereka belum mengenal sebuah sistem ilmu yang sekaligus transenden, abadi selamnya untuk mengatur seluruh urusan dunia dan akhirat mereka.

Dakwah hakikatnya adalah pendidikan adapun variabel didalam pendidikan adalah ilmu pengetahuan sedangkan illmu pengetahuan tidak akan mampu berkembang kecuali mendapatkan formula atau bahan-bahan mentah yang di olah menjadi satu perangkat berfikir untuk membaca realitas yang ada. Artinya Rasulullah dalam membaca realitas masyarakat mekah saat itu membutuhkan world view islam yang langsung diturunkan Allah berupa Al-Qur’an yang didalmnya memuat sistem kehidupan yang komperhensif dan mendalam; seluruh aspek kehidupan dari yang paling kecil semisal masuk kamar mandi hingga urusan besar pengelolaan negara.

Islam setelah melalui fase 23 tahun dijazirah arab lalu disusul 30 tahun dimasa daulah umayyah kemudian berkembang begitu pesat diera abbasiyah. Fase penting dalam sejarah islam ini ditandai dengan kesadaran untuk mengadopsi kemudian dilakukan purifikasi untuk memastikan tidak ada world view (pandangan alam) dari peradaban lain sehingga ada nilai otentik islam yang tentunya sumber utamanya adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kita ambil contoh satu saja karya logika para sarjana muslim bermula dari kaidah-kaidah logika aristoteles (filosof yunani) yang kemudian kita kenal ilmu mantiq (logika) yang bisa dikatakan lebih “islami”.

Pemikiran atau tradisi intelektual yang berasal dari bangsa, agama, dan peradaban lain seperti yunani, romawi, persia digunakan untuk keperluan kaum muslimin untuk membaca realitas sebagai bentuk amanah memakmurkan bumi. Tuggas kaum muslimin untuk memakmurkan bumi membutuhkan satu perangkat berfikir yang tidak hanya mampu membaca, mengurai, menyusun realitas, tetapi disamping itu keilmuan dalam islam bersifat holistik atau terpadu antara aspek dunia dan akhirat, aspek iman, ilmu, amal; dalam islam semuanya menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Dalam bahasa singkatnya tidak ada dikotomi dalam islam.

Kalau dilihat seolah ada semacam perangkingan, antara ilmu amal; seolah amal atau ilmu secara otonom saling menegasi padahal sebetulnya tidak demikian. Setiap komponen  harus saling berkait sebab ketiadaan satu komponen dalam islam akan tidak kompatibel. Kalau kita ibaratkan seperti motor: roda dalam susunan terpisah dia bisa dikatakan tidak lebih penting dari mesin, tapi apakah sebuah motor tanpa roda bisa berjalan? Tentunya tidak akan fungsional meskipun ketiadaan roda identitas motor masih bisa dikenali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline