Tradisi menghafal yang menjadi ciri khas keilmuan islam adalah sebuah prestasi besar. Peradaban manapun yang sekarang bersanding dengan kaum muslimin pasti mengetahui bagaimana jerih payah sebagian umat islam yang menghafal al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan menghafal, keduanya terjaga karena dulu belum ada produksi kertas dan pena baru setelah Al-Qur’an dan Hadits dikodifikasi atas motivasi menjaga agar sumber kebenaran muslim tidak musnah.
Syahidnya para qurro’ pada perang uhud adalah fase awal catatan al-Qu’an dikumpulkan. Walaupun sudah tersedia dimushaf tradisi menghafal masih terjaga hingga saat ini bahkan bisa dipastikan akan bertahan hingga Allah yang mencabutnya dari muka bumi menjelang kiamat. Alasannya sederhana, dalam agama Allah berikan keutamaan bagi penghafal al-Qur’an sehingga janji Allah untuk menjaga al-Qur’an terwujud salah satunya dengan lahirnya para penghafal.
Tidak sedikit kalangan sekularis yang antipati dengan satu tradisi intelektual islam ini. Lontaran kalimat yang keluar seringkali memojokkan dengan istilah: Tekstualis, males mikir, dll. Memang secara kasap mata huffadz al-qur’an hanya menghafal saja. Namun jangan dilupakan disamping menghafal ternyata variabel dalam mempelajari al-Qur’an dan al-Sunnah juga tergolong tidak mudah. Banyak disiplin ilmu yang harus dikuasai untuk bisa mengkaji dan mentadabburi al-Qur’an, semisal: Ilmu Tafsir, Ulumul Qur’an, Nasikh Mansukh, dll.
Kalau barat sekuler mengatakan tradisi intelektual harus rasional-empiris baru bisa dikatakan ilmiah. Bagi umat islam memiliki satu metodologi khusus yang menjadi tipologi bagi peradaban islam. Ternyata empiris-rasional tidak dihilangkan walaupun basis tradisi intelektual kita adalah believe (iman).
Para intelektual muslim dimasa keemasan islam memulai tradisi ilmiahnya justeru dari believe (keyakinan). Banyak disiplin ilmu yang dilahirkan oleh mereka: Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah (Linguistik Arab), Ushul Fikih (Filsafat Hukum Islam), Ulumul Qur’an (Sains Al-Qur’an), Theology (Kalam), Natural Sains, Astronomi, Fisika, dll, yang justru dilahirkan dari basis believe/keimanan yang kuat pada wahyu Allah.
Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang kita yakini sebagai wahyu dari Allah, sebagaimana yang Dia firmankan: “Tidak ada keraguan didalamnya”. Menjadi satu legitimasi agar kita sebagai hambanya yang dianugerahi akal berusaha keras menggali sepenuh jiwa berbagai hikmah yang terkandung didalamnya. Apa yang tidak dibahas didalam al-Qur’an dan al-Hadits? Hampir seluruh aspek kehidupan dari yang paling kecil semisal masuk kamar mandi hingga urusan besar semisal pengaturan negara tidak ditinggalkan.
Persoalan yang sekarang terjadi adalah sebuah kemunduran kaum muslim yang tidak terlalu memperhatikan, atau lebih tepatnya tidak kembali menelusuri metode kejayaan umat terdahulu yang menggunakan wahyu sebagai basis teori/aksioma untuk mengembangkan sebuah teori. Menurut profesor Kuntowijoyo yang perlu kita lakukan adalah menteorisasi al-Qur’an agar ia “fungsional” sebagai alternatif solusi berbagai problem yang dihadapi manusia modern.
Dalam istilahnya juga beliau menggunakan istilah Paradigma Islam: Interpretasi untuk aksi, dengan harapan wahyu tidak hanya berhenti didalam ruang-ruang sakral semacam masjid, mushola, dll, namun meluas hingga menyentuh seluruh sektor kehidupan. Asumsi ini juga relevan dengan firman Allah yang mengatakan: “Tidaklah Aku utus engkau (Muhammad) kecuali untuk rahmat bagi seluruh alam”.
Jadi pada dasarnya problem fundamental umat islam hari ini disamping kesalahan dalam memandang ilmu pengetahuan atau dalam istilahnya profesor Muhammad Naqib Alattas tidak beradab pada ilmu, kita juga memiliki problem dalam minat baca, tulis, diskusi, dll, atau biasa kita sebut kecilnya minat literasi. Kecilnya minat literasi terutama membaca ini sudah dibuktikan oleh beberapa survei lembaga otoritatif yang dalam bahasa sederhana menempati pada posisi yang jauh dibawah negara yang notabene tidak beragama islam.
Tradisi islam yang tidak lepas dari wahyu bisa diwujudkan salah satunya melalui lembaga pendidikan pesantren. Sebagaimana yang kita tahu sudah banyak sekali pesantren yang menggunakan paradigma integratif, holistik, yang memadukan antara pendidikan agama dan umum secara integratif dan tidak dikotomis.
Artinya seorang santri tidak hanya menenteng kitab kuning yang membahas persoalan agama (fikih, akidah, akhlak, tasawuf) namun mereka juga memberi ruang untuk mengkaji ilmu rasional (matematik, logika, fisika: menurut pembagiannya ibnu sina).