Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Rico Satrio Wicaksono

Mahasiswa Universitas Airlangga

Tren Kesehatan Mental: Media Sosial pada Remaja di Era Digital

Diperbarui: 12 Desember 2024   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masa remaja merupakan periode yang kritikal dalam pembentukan self concept seseorang. Anak-anak mulai berinteraksi intensif dengan lingkungan sekitarnya, tidak hanya memberikan makna pada lingkungan tersebut tapi juga menerima banyak feedback dari lingkungan tersebut. Respons dari orang lain atas dirinya ataupun pandangan dirinya terhadap respons orang lain tentang dirinya akan memberikan dampak tersendiri dalam pembentukan self concept remaja. Namun, pada masa sekarang, self concept pada remaja tidak lagi dibentuk hanya dari hubungan di dunia nyata saja. Hubungan dan interaksi di dunia maya melalui media sosial turut mempengaruhi pembentukan self concept remaja. Respon dari orang lain di media sosial, baik itu likes maupun komentar, akan membentuk persepsi diri remaja.


Meskipun media sosial membawa banyak manfaat dalam komunikasi dan interaksi sosial namun juga membawa risiko kesehatan mental yang signifikan. Salah satu satu risiko utama adalah cyberbullying, yaitu perundungan online melalui komentar negatif, penyebaran informasi palsu, atau ancaman. Selain itu, remaja juga rentan terhadap konten negatif seperti pornografi, kekerasan, dan penyalahgunaan narkoba. Kondisi ini dapat memicu gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan krisis identitas akibat perbandingan sosial yang tidak sehat.
 
Kesehatan mental remaja menjadi perhatian utama dalam era digital saat ini, terutama dengan semakin dominannya media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Studi menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial berisiko tinggi mengalami depresi. Penggunaan berlebih ini sering kali mengganggu keseimbangan antara kehidupan online dan offline, yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Paparan terus-menerus terhadap konten yang menciptakan perbandingan sosial dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan ketidakpuasan terhadap hidup mereka sendiri.
 
Tak hanya itu, ketergantungan remaja pada media sosial telah memunculkan fenomena baru yang disebut "anxiety of missing out" atau kecemasan karena merasa tertinggal. Data menunjukkan bahwa remaja merasa cemas saat tidak bisa mengakses media sosial. Kecemasan ini bisa mempengaruhi kualitas tidur, konsentrasi, dan interaksi sosial mereka. Remaja yang mengalami kecemasan ini sering kali merasa terisolasi dan sulit untuk fokus pada aktivitas akademis maupun sosial di kehidupan nyata.
 
Penggunaan media sosial juga memengaruhi persepsi diri remaja, banyak remaja yang merasa tidak puas dengan penampilan dan kehidupan mereka setelah melihat unggahan teman-teman mereka di media sosial. Ini disebabkan oleh kecenderungan media sosial untuk menampilkan kehidupan yang ideal dan glamor, yang sering kali bukan cerminan dari kenyataan. Hal ini dapat menyebabkan persepsi negatif terhadap diri sendiri, yang berdampak pada rendahnya rasa percaya diri dan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk belajar menggunakan media sosial secara bijak dan seimbang untuk menjaga kesehatan mental mereka.
 
Untuk menghindari risiko-risiko tersebut, penting dilakukan strategi pencegahan dan perlindungan yang efektif. Pertama, pendidikan literasi digital perlu ditingkatkan agar remaja sadar akan penggunaan internet dan media sosial yang aman dan bertanggung jawab. Kedua, komunikasi terbuka antara orang tua dan remaja sangat penting untuk memahami concern mereka di dunia digital. Orang tua harus membangun hubungan yang mendukung supaya remaja merasa bebas berbicara tentang apa yang dialami. Ketiga, pemantauan aktivitas online remaja harus dilakukan dengan hati-hati tanpa melanggar privasi mereka. Dengan demikian, remaja dapat menggunakan media sosial dengan bijak dan mengoptimalkan manfaatnya sambil menghindari risiko kesehatan mental.
 
Penting juga untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi remaja dalam menghadapi tantangan kesehatan mental yang muncul akibat penggunaan media sosial. Sekolah, komunitas, dan lembaga kesehatan harus berperan aktif dalam menyediakan dukungan psikologis dan sumber daya yang dapat membantu remaja mengelola stres dan kecemasan yang timbul dari dunia maya. Program-program edukasi yang mengajarkan keterampilan coping (coping skills), seperti manajemen emosi dan teknik relaksasi, bisa menjadi langkah preventif yang efektif dalam mencegah gangguan kesehatan mental. Selain itu, dukungan dari teman sebaya juga sangat berpengaruh dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan positif di dunia maya, di mana remaja dapat saling memberikan dukungan tanpa menghakimi satu sama lain.
 
Dengan semakin berkembangnya teknologi dan media sosial, peran masyarakat dalam menciptakan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental bagi remaja menjadi semakin krusial. Kampanye untuk mengurangi stigma terkait masalah mental, serta promosi untuk mencari bantuan ketika diperlukan, harus lebih digencarkan. Remaja harus didorong untuk berbicara terbuka tentang perasaan mereka, baik secara langsung maupun melalui platform yang lebih aman. Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif antara orang tua, pendidik, serta masyarakat luas, kita dapat membantu remaja untuk tumbuh dan berkembang dalam dunia digital dengan cara yang sehat dan konstruktif, sekaligus menjaga kesehatan mental mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline