Berbicara tentang Indonesia, tentu tidak bisa dilepaskan dari keanekaragaman nilai-nilai kearifan lokal yang tersebar di berbagai daerah. Seperti kita tahu, Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak suku, budaya, agama, bahasa dan adat istiadat yang beraneka macam. Setiap daerah mempunyai tradisi sendiri. Namun dalam konteks kebangsaan, suku dan tradisi yang beanekaragam itu tetap menjadi satu, yaitu Indonesia. Dan untuk bisa merangkul keberagaman itu salah satunya tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai toleransi.
Ketika Islam masuk ke tanah Jawa misalnya, warga lokal ketika itu tidak pernah melakukan penolakan. Tidak pula pernah melakukan pengusiran. Juga tidak pernah menjelekkan ataupun menebar kebencian. Dan Islam sendiri juga tidak pernah menjelekkan warga lokal, yang ketika itu sudah memiliki keyakinan. Seperti kita tahu, masyarakat ketika itu sudah banyak yang memeluk Hindu dan Budha. Ada juga yang masih menganut aliran kepercayaan. Antar sesama tidak pernah ada yang saling menjelekkan. Yang justru terjadi adalah akulturasi diantara mereka. Dan jejak akulturasi itu masih bisa kita lihat dan rasakan hingga saat ini.
Di era kemerdekaan, jejak keberagaman itu juga terlihat. Para pemuda mulai meninggalkan ego daerahnya masing-masing. Mereka mulai bersatu sampai akhirnya melahirkan organisasi modern pertama yaitu Boedi Oetomo. Organisasi ini kemudian berkembang dan terus membuat generasi muda ketika itu bersatu, melawan kolonial penjajah. Bahkan ketika perjuangan para pahlawan yang cenderung kedaerahan, akhirnya juga bisa bersatu sampai akhirnya mengantarkan pada kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan sampai akhirnya melahirkan negara yang bernama Indonesia.
Dalam perkembangannya, para pendiri negeri ini pun juga tidak mau lupa akarnya. Nilai-nilai kearifan lokal yang memang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, diadopsi ke dalam Pancasila. Dasar negara ini pun akhirnya dijadikan sebagai falsafah bangsa ini. Hal ini menunjukkan, para pendiri negeri ini tidak ingin generasi penerus kehilangan jati dirinya.
Jati diri bangsa Indonesia adalah toleransi. Karena itulah masyarakat Indonesia sebenarnya tidak mengenal intoleransi ataupun rasisme, yang belakangan mungkin sering muncul melalui ujaran kebencian. Seperti kita tahu, ujaran kebencian seringkali menyusup melalui kecanggihan teknologi dan kebebasan berekspresi. Tanpa disadari, setiap ucapan dan perilaku yang muncul justru merugikan orang lain. Maraknya propaganda radikalisme, membuat tidak sedikit dari masyarakat yang terpapar paham yang menyesatkan ini. Penyebaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok radikal ini memang tak pernah berhenti. Dalam kondisi apapaun, mereka terus menyebarkan propaganda radikalisme dengan berbagai cara.
Beberapa pekan lalu, publik ramai membicarakan tentang Abu Janda, yang diduga telah melakukan rasisme terhadap Natalius Pigai, mantan ketua Komnas HAM asal Papua. Jika memang terbukti bersalah, yang dilakukan Abu Janda ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh kelompok radikal selama ini.
Mari kita sudahi segala bentuk bibit intoleransi dan rasisme. Indonesia tidak butuh generasi yang sibuk mencari kesalahan orang lain. Yang dibutuhkan Indonesia adalah generasi yang cerdas, yang bisa memberikan manfaat luas bagi masyarakat, tapi tetap mengedepankan toleransi. Jangan lupakan akar kita dari mana. Sebagai warga negara Indonsia, menjaga jati diri bangsa sangat penting dilakukan. Dan salah satu jatidiri itu adalah mengedepankan toleransi. Mari saling menghargai dan menghormati antar sesama. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H