Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Ricky Perdana

gemar travelling, fotografi dan menulis

Jaga Kesantunan, Agama Jangan Direduksi untuk Kepentingan Tertentu

Diperbarui: 13 Desember 2020   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bhinneka Tunggal Ika - jalandamai.org

Tidak sedikit dari sebagian orang menggunakan ayat-ayat kitab suci untuk meyakinkan publik. Tidak sedikit dari sebagian orang membawa pernyataan ulama, kyai, habaib yang dianggap keturunan Nabi dan lain sebagainya, untuk bisa mendapatkan simpati publik. Ketika masa politik, banyak politisi menggunakan sentimen agama untuk mendapatkan pemilih. Kelompok intoleran juga melakukan hal yang sama. Menggunakan ayat-ayat agama untuk mendapatkan simpati publik.

Dalam beberapa kasus, ada pihak-pihak yang mendadak menjadi religious, tapi dalam waktu yang sama juga mempertontonkan perbuatannya yang intoleran. Sementara perbuatan intoleran tersebut dimaknai sebagai perbuatan menegakkan agama. Kelompok FPI dalam sejarahnya sering melakukan hal tersebut. Setelah menghujat, menebar provokasi, menebar kebencian selalu meneriakkan kalimat takbir. Kelompok teroris juga melakukan hal yang sama. Ketika melakukan bom bunuh diri, juga meneriakkan takbir. Lalu, apakah nilai-nilai agama begitu menakutkan seperti itu?

Mari belajar dari kyai kampung yang mengajarkan nilai-nilai agama dengan cara yang sederhana. Mari kita lihat bagaimana cara ceramah Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun yang sederhana, tapi penuh makna. Mereka bisa mengajarkan nilai-nilai keagamaan dengan cara yang santun, tanpa harus mencaci atau menghujat pihak lain. Ketika mengutip ayat-ayat suci pun, juga selalu dilihat berdasarkan konteksnya, sehingga masyarakat bisa memahami secara obyektif. Tak heran jika banyak orang yang rela duduk berjam-jam mendengarkan wejangan dari para guru tersebut.

Jika kita melihat sejarah Islam di Indonesia, tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Wali Songo. Ya, karena Sembilan wali itulah Islam menyebar di tanah Jawa dan terus menyebar hingga ke penjuru negeri. Apa yang dilakukan para wali ketika menyebarkan Islam patut kita jadikan contoh, dan masih releven jika diterapkan hingga saat ini. Ketika itu, para wali melakukan pendekatan secara budaya untuk bisa diterima oleh masyarakat. Para wali juga tidak pernah memaksa masyarakat untuk memeluk Islam, karena ketika itu rata-rata masyarakat sudah ada yang menganut Hindu dan Budha. Di tangan para wali, Islam tidak pernah menjelekkan, menghujat atau menghakimi. Dan hingga akhirnya, Islam berkembang di Indonesia hingga saat ini.

Apa yang dilakukan para wali semestinya bisa kita jadikan contoh. Jauh sebelum itu, Rasulullah SAW juga memberikan contoh yang sangat jelas. Bagaimana ucapan dan perilaku Nabi yang merangkul semuanya. Bahkan pihak-pihak yang memusuhinya pun juga dirangkul, didoakan agar kembali ke jalan yang benar. Tidak pernah sedikit pun keluar kata kasar. Nabi juga sangat mengedepankan toleransi.

Dan mari kita lihat Indonesia saat ini. Banyak sekali orang merasa paham agama, tapi pada saat yang bersamaan juga bisa melakukan tindakan intoleran. Banyak orang yang merasa benar, dan memandang pihak yang berbeda sebagai pihak yang salah. Agama tidak pernah membeda-bedakan. Tuhan menciptakan bumi dan isinya ini berbeda-beda. Karena itulah Tuhan menganjurkan agar kita saling mengenal, saling bersilaturahmi, saling menghargai dan saling tolong menolong. Agama apapun mengajarkan hal seperti itu. Karena itulah, janganlah mereduksi nilai-nilai keagamaan yang suci. Indonesia yang beragam merupakan anugerah. Dan menjadi tugas kita bersama untuk menjaganya. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline