Tuhan menciptakan setiap manusia berbeda satu dengan yang lain. Berbagai macam banyak suku, bahasa dan budaya, yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Tidak hanya di Indonesia, keragaman itu juga terjadi di berbagai daerah, bahkan negara. Karena itu pula, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, yang saling membutuhkan pertolongan antar sesama. Setiap manusia dianjurkan untuk berinteraksi dan saling mengenal satu dengan lainnya.
Ketika berinteraksi itu, tentu akan ada dialektika yang terjadi. Ada yang bisa merespon secara positif, tapi ada juga yang merespon negative. Belakangan, respon negative itu terus menguat. Maraknya ujaran kebencian, provokasi dan pesan kebencian, sering kita temukan di media sosial. Meski jumlahnya masih relative sedikit, tapi intensitasnya terus mengalami peningkatan. Akibatnya, ada sebagian orang yang menjadi korban provokasi dan melakukan persekusi. Jika persekusi terus meluas, dikhawatirkan bisa berujung pada konflik di tengah masyarakat.
Apalagi, penyebaran informasi yang menyesatkan, ujaran kebencian dan propaganda radikalisme itu menyebar begitu pesat di era milenial ini. Untuk itu perlu komitmen dari semua pihak, untuk mencounter maraknya ujaran kebencian dan provokasi di media sosial. Ketika jelang penyebaran presiden, pesan-pesan negative itu mengalami penguatan. Setelah pilpres, memang mulai berkurang tapi tetap saja masih ada. Terbukti, rusuh di tanah Papua beberapa waktu lalu juga dipicu karena provokasi di media sosial. Unjuk rasa mahasiswa yang didomplengi pihak tertentu juga berujung rusuh. Kini, jelang pelantikan presiden, provokasi kembali bermunculan.
Pihak-pihak yang sengaja menebar kebencian ini, tanpa sengaja bisa memunculkan kelompok-kelompok intoleran terus bermunculan. Bahkan, pekan kemarin, pihak-pihak yang terpapar ISIS dan masuk bagian dari anggota JAD kembali muncul dan mencoba melakukan percobaan pembunuhan kepada Menko Polhukam Wiranto. Kemunculan pihak-pihak ini tidak bisa dilepaskan dari maraknya provokasi radikalisme di dunia maya. Karena pola semacam ini juga sering terjadi di masa-masa sebelumnya.
Pihak yang melakukan provokasi, sebenarnya secara jumlah, sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itulah, jangan diam. Jangan biarkan pesan kebencian ini meraja lela di dunia maya. Jangan biarkan generasi penerus bangsa ini, terpapar paham radikalisme, dan menjadi korban hoaks serta propaganda kebencian kelompok radikal. Jangan biarkan pesan negative itu, terus mempengaruhi alam bawa sadar masyarakat, yang tanpa sadar terus menyebarkan informasi tanpa melakukan cek ricek terlebih dulu.
Kita semua berani dan membiasakan untuk mengungkapkan ekspresi dan argumentasi. Ini murni perang pikiran, perang gagasan. Bagi yang membekali dirinya dengan informasi yang tepat, dengan inovasi yang bagus, tentu akan menghasilkan generasi yang super. Bukan generasi yang mudah terprovokasi dan marah, hanya karena dipicu oleh informasi yang sifatnya tidak jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H