19 Desember kemarin diperingati sebagai hari bela negara. Mungkin ada yang bertanya, apa pentingnya membela negara? Bukankah ada TNI, polisi dan aparat keamanan yang ditugaskan untuk menjaga keamanan negara ini? Membela negara tidak identik dengan isu keamanan, prestasi di pertandingan olahraga ataupun pertandingan lain. Dalam konteks kekinian, bela negara juga bisa diartikan sebagai bentuk kecintaan kita kepada negara ini. Tempat kita berpijak, tempat saling berinteraksi dan berkembang dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.
Indonesia juga mendapatkan anugerah yang sangat luar biasa dari Tuhan YME. Keragaman suku, budaya, bahasa dan agama menjadi ciri khas negeri ini. Berbagai macam kearifan lokal yang tersebar dari Aceh hingga Papua juga menjadi hal yang tak terpisahkan. Tenggang rasa, gotong royong, toleransi juga menjadi hal yang tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia.
Ya, karena memang begitulah sejatinya kita, kita yang lahir dan besar di Indonesia. Sayangnya, nilai-nilai positif yang telah ada sejak dulu itu, dirusak oleh kelompok-kelompok yang tak bertanggung jawab dengan menyebarkan bibit intoleransi dan radikalisme. Bibit negative itu disebarluaskan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi melalui media sosial.
Kondisi ini kian runyam, ketika ujaran kebencian dan provokasi SARA, juga digunakan dalam kontestasi politik. Jelang pemilihan presiden dan wakil presiden serta anggota legislative pada April 2019 mendatang, kontelasi politik di dalam negeri terasa panas akibat maraknya berita bohong dan pesan kebencian.
Perilaku elit politik justru terkesan tidak pernah memberikan pendidikan politik yang baik ke masyarakat. Ucapan yang muncul di media sosial dan media mainstream, semangatnya adalah mencari kesalah, mencari kejelekan dan dilandasi semangat kebencian. Ironisnya, sebagian tokoh masyarakat dan tokoh yang mengatasnamakan dirinya ulama juga tidak bisa mengontrol ucapan dan perilakunya.
Keriuhan pesta demokrasi seharusnya bisa digunakan untuk menguji program para kandidat, yang maju dalam perhelatan politik. Panasnya politik seharusnya bisa jadi media untuk mendewasakan demokratisasi di negeri ini. Terlebih capres yang bertarung di pilpres 2019 mendatang, adalah capres yang sama ketika pilpres 2014.
Semestinya pilpres kali bisa lebih dewasa, bisa lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal. Budaya saling menghormati semestinya bisa mengalahkan rasa saling membenci. Budaya ramah semestinya bisa mengalahkan amarah. Namun pada kenyataannya, praktek menebar kebencian masih terjadi dalam setiap perhelatan politik.
Di tahun politik ini, jumlah pemilu muda diperkirakan mencapai 40 persen dari total pemilih. Jumlah yang sangat signifikan. Sebagai generasi milenial yang melek informasi, jangan tinggal diam. Jadilah pemilih yang kritis dan jangan mudah terprovokasi oleh berita bohong dan ujaran kebencian. Generasi milenial harus mampu menjaga negeri ini ancaman kehancuran, akibat provokasi kebencian ini. Biar bagaimanapun juga, bibit kebencian bisa berpotensi melahirkan berbagai tindakan negative.
Mulai dari menebar hoax, melakukan persekusi, hingga aksi terorisme. Dan semuanya itu sudah pernah terjadi di negeri ini. Aktiflah menebar pesan damai di media sosial. Berbicara dan berperilakulah seperti selayaknya masyarakat Indonesia, yang mempunyai budaya saling menghormati dan menghargai. Jika kita memang cinta pada negeri ini, maka selamatkanlah dari segala pengaruh kebencian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H