Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Reza Rokhmanto

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Fenomena "Plaet" Sering Orang Lamongan Katakan untuk Menggambarkan Kondisi Pasar Sepi Peminat, Ternyata Dapat Dijelaskan dari Prespektif Ilmu Ekonomi

Diperbarui: 2 Januari 2024   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Orang-orang awam, khususnya mereka yang berasal dari budaya Jawa, sering menggunakan istilah "Plaet" untuk menyebut fenomena pasar yang sepi peminat. Istilah ini mencerminkan kondisi ketika aktivitas perdagangan tidak sebanyak biasanya. Meskipun tidak umum dalam literatur ekonomi formal, "Plaet" menjadi ekspresi lokal yang menggambarkan realitas ekonomi dari perspektif masyarakat setempat, terutama digunakan oleh pedagang kaki lima dan pelaku UMKM.

Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini,  saya memahami bagaimana para pedagang kaki lima, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sering kali mengeluhkan tentang kondisi bisnis yang menurun. "Jualan sekarang lebih sepi mas, tidak seperti dulu. Dulu bawa dagangan 10 kilo cepat habis, sekarang bawah 6 kilo aja kadang gak habis," ungkap seorang pedagang nasi goreng kaki lima.

Sebenarnya permasalahan ini dapat di jelaskan dari prespektif ilmu ekonomi. Permasalahan tersebut tidak lepas dari inflasi yang tidak terkendali dan jumlah uang beredar yang melimpah. Banyak orang yang terus-menerus membelanjakan uang, mengakibatkan penipisan stok barang di pasaran dan akhirnya terjadilah inflasi. Inflasi yang tinggi membuat harga barang atau bahan pokok melonjak drastis, memaksa pemerintah dan bank sentral untuk mengambil tindakan cepat.

Berawal dari inflasi yang melonjak tinggi, membuat bank sentral mengambil inisiatif untuk menaikkan suku bunga acuan dengan tujuan mendorong masyarakat untuk menyimpan uang mereka. Namun, kebijakan ini memiliki dampak negatif. Suku bunga yang tinggi akan menyulitkan banyak industri dalam membayar hutang berbunganya, ditambah lagi dengan tingginya tingkat suku bunga, membuat masyarakat lebih memilih menyimpan uangnya daripada mengeluarkannya, mengakibatkan penurunan pendapatan perusahaan.

Akibatnya, perusahaan harus mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan tujuan mengurangi beban operasional, yang kemudian berdampak pada pendapatan masyarakat secara keseluruhan. PHK massal mengurangi tingkat konsumsi masyarakat, membuat pedagang kaki lima, UMKM, dan pelaku usaha kecil lainnya kehilangan sebagian besar atau bahkan semua pelanggan mereka.

Tidak hanya itu, dampak negatif ini merambat ke industri lain, memicu PHK massal di sektor-sektor yang lebih besar. Data statistik dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa laju inflasi cenderung turun dari Februari 2023 sebesar 5.47% hingga November 2023 menjadi 2.86%, tetapi resesi tampaknya mengintai. Dengan banyaknya PHK, pendapatan masyarakat berkurang secara signifikan, mengakibatkan penurunan tingkat konsumsi yang merupakan komponen utama pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi terus menurun sampai 3 kuartal berturut, maka bisa dipastikan resesi akan beneran terjadi.

Meskipun laju inflasi cenderung turun, permasalahan ekonomi belum terselesaikan. Resesi masih mengancam, tindakan yang perlu kita lakukan adalah tetap jaga uang cash yang kita miliki, jaga-jaga jikalau nanti kondisi ekonomi semakin buruk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline