Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Ali Rendra

Kartawedhana

Gerakan Sosial Nativisme, Mesianisme dan Milenarian di Kalimantan Selatan pada periode Perang Banjar

Diperbarui: 22 Oktober 2024   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Kalimantan Selatan menjadi medan laga dari berbagai gerakan sosial yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kaum bangsawan yang dibalut oleh tirani kaum penjajah Belanda. Gerakan nativistik yang berpadu dengan elemen mesianis pertama kali muncul di wilayah yang subur, tempat lumbung padi yang berada di kawasan tanah apanase para Pangeran Banjar, kemunculan perlawanan dari masyarakat akar rumput ini menandai awal "pergerakan" dan perlawanan yang memicu konflik panjang hingga memasuki abad 20.

Ketidakpuasan dan ketertindasan ditengah masyarakat Kalimantan Selatan yang masih dekat dengan unsur magis-spiritual kemudian melahirkan keyakinan akan datangnya sosok pemimpin atau figur mesianis, ratu adil atau pemimpin yang mendapat mandat gaib, diyakini mampu membebaskan mereka dari penindasan dan mengembalikan tatanan kehidupan yang lebih adil. Gerakan semacam ini muncul sebagai respons atas perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang mengancam eksistensi masyarakat tradisional, khususnya ketika wilayah mereka mulai diintervensi oleh kekuatan asing yang membawa pengaruh luar.

Friksi panjang yang terjadi antar para elite (bangsawan) utama Kesultanan Banjar yang berujung pada usurpasi tahta pada tampuk tertinggi penguasa Kerajaan yang sudah barang tentu akan berdampak pada stabilitas politik dan merubah peta kekuasaan. Pihak usurpator yang berhasil menyingkirkan putra mahkota dan membuangnya ke Cylon (Srilangka) berkat bantuan militer dari VOC akhirnya harus membayar "utang jasa" itu melalui kesepakatan yang dibuat antara Sultan dan pihak VOC pada tahun 1787 yang membuat Belanda berkuasa penuh atas Kesultanan Banjar. Disilah pihak kolonial Belanda mulai menancapkan taringnya, mengatur jalan kerajaan dan membuat sebuah tirani dalam wajah kekuasaan sang Raja Banjar, sekian dekade dan masa berlalu, pemerintahan yang tiran kemudian menemukan muaranya. 

Gerakan Sosial Nativisme-Mesianis di Muning.

Saat Belanda mengukuhkan Pangeran Tamjid II untuk menjadi Raja/Sultan yang berujung pada penentangan dari berbagai pihak tak terkecuali dari rakyat Banjar. Pengangkatan Pangeran Tamjid II oleh Belanda yang dirasa sudah sangat jauh mencampuri adat Kerajaan. Belum lagi penarikan pajak atas tanah-tanah apanase para pangeran membuat rakyat geram. Lalu munculah suatu gerakan sosial di daerah Banua Ampat di kampung Kumbayau dekat kampung Lawahan sekarang. Daerah Muning pada mulanya adalah tanah apanase yang dimiliki Pangeran Prabu Anom putera Sultan Adam tetapi setelah Pangeran ini dibuang ke Jawa, daerah Muning jatuh ke tangan Pangeran Tamjid II, Daerah ini, merupakan daerah rawa atau daerah aliran pasang surut. Rakyatnya hidup dari hasil sawah sambil mencari ikan air tawar (Ideham, dkk 2003).

Gerakan ini menarik, mirip seperti gejolak tjiomas (dekat Sukabumi) yang terjadi tahun 1886 yang berangkat dari kaum petani, dipimpin oleh Apan yang berperan seolah Imam Mahdi yang menyerukan perang suci, ia memakai gelar Panembahan yang juga merupakan tipikal gelar yang sering dipakai pemimpin gerakan mesianisme untuk menarik orang-orang berkumpul dirumahnya dan jnehjlp untuk melakukan sembah penghormatan layaknya seorang raja (Kuntowijoyo, 2008)

Gerakan di Muning pada tahun 1859 itu dipimpin oleh Aling pria tua yang merupakan tokoh masyarakat Kampung Kumbayau. Diceritakan Sambang anaknya (yg bersaksi di sidang Belanda) bahwasanya ayahnya (Aling) pada 10 Rajab 1275 atau 2 Februari 1859 telah kesurupan setelah melakukan sebuah tirakat. Setelah peristiwa itu tersebarnya kabar bahwa aling bisa menyembuhkan orang yang sakit. Beratus-ratus orang berduyun mendatangi kampung Kumbayau. Aling mendiringkan kerajaan tandingan dan memberi gelar kepada dirinya sendiri "Panembahan Muda Aling", anaknya pun demikian seperti Saranti yang mengaku Junjung Buih dan Sambang yang memakai gelar Sultan Kuning. Panembahan Aling berperan sebagai ratu adil, raja sementara karena dia ingin tahtanya tersebut akan diduduki oleh putra mahkota yang terbuang (P.Antasari). Gerakan ini dipenuhi oleh ritual mistik, sinkretis Islam, mereka juga membagikan jimat-jimat yan diyakini memiliki kekuatan dan kekebalan terhadap senjata. Gerakan sosial Aling telah menghimpun 3000 prajurit dan dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pasukan tersebut menyerang tambang batu bara Orange Nassau dan sempat hampir menduduki Keraton kerajaan Banjar. Gerakan ini menandai pecahnya Perang Banjar yang dahsyat dan berkepanjangan yg berlangdung dari tahun 1859-1905.

Gerakan Baratib Baamal

Gerakan yang bernuansa revivalisme ini muncul dalam satu instrumen dari bagian "Perang Banjar" periode pertama pada tahun 1861. Gerakan ini berkembang pesat pada wilayah Amuntai, Balangan dan Tabalong yang dipimpin oleh Penghulu Muda Abdul Rasyid, ciri khas dari gerakan ini adalah ritual amalan-amalan seperti zikir khusus yang mengarah kepada kelompok tarekat. Gerakan ini dimotori oleh semangat jihad yang tinggi, diinduksi oleh para ulama-ulama setempat. Fanatisme masyarakat Banjar terhadap Islam  ditambah pengaruh ulama sehingga membuat gerakan ini begitu menakutkan pihak lawan kendati bermodalkan senjata-senjata sederhana seperti parang dan tombak mereka mengamuk tanpa rasa takut karena "mati syahid" adalah salah satu tujuan mereka. Dalam rangkaian pertempuran yang dilakukan gerakan "Baratib Baamal" seorang perwira Belanda Van Haldren tewas.

Gerakan Sosial Hantarukung (Hamuk Hantarukung).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline