Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Ali Rendra

Kartawedhana

Masyarakat Adat dan Kota: Antara Kebersamaan dan Keterputusan.

Diperbarui: 29 September 2024   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ritual Aruh di Balai Bayumbung Desa Halunuk, Kab. Hulu Sungai Selatan 23 Sept 2024. (Koleksi : Penulis)

Oleh : Rendra, (TACB Kab.HSS/Kurator Museum Rakyat HSS).

Selama seminggu terakhir ini, saya berkesempatan mengunjungi beberapa "Balai Adat" yang dimiliki beberapa komunitas masyarakat adat di pegunungan Meratus tepatnya sekitar Kecamatan Loksado (Kabupaten Hulu Sungai Selatan - Kalsel). Meskipun lokasinya kadang ada yang relatif berdekatan dan ada juga yang amat jauh satu dengan yang lainnya, setiap komunitas pun memiliki ciri khas yang unik. Namun, satu hal yang konsisten adalah eratnya hubungan sosial antar-warga.

Konsep adat istiadat mereka telah memberikan kehidupan terasa penuh kebersamaan, dimana gotong-royong dan nilai-nilai adat masih dijunjung tinggi saat derasnya arus teknologi informasi yang kadang bisa mengurangi jalinan bersosial kita di dunia nyata. Masyarakat di Meratus juga hidup berdampingan dengan alam, menjaga tradisi, terus memperkuat ikatan sosial disamping bergulat dengan ancaman "mimpi buruk" Kibat gempuran modernisasi yang tak terkendali dan memiliki potensi menghancurkan tatanan adat yang mereka jaga selama ini.

Pengalaman ini sangat berbeda dengan kehidupan di kota yang cenderung sibuk dan individualistis. Di kota, meskipun jarak fisik bisa dekat, keterhubungan sosial seringkali terasa renggang. Namun, di lingkungan masyarakat adat ini jarak sosial hampir tidak ada—semua orang pun saling mengenal.

Merekapun membuat aturan/hukum adat yang tidak jauh dari tindakan dan pertimbangan sosial. Ini membuka mata saya bahwa, di tengah modernisasi, ada nilai-nilai kehidupan tradisional yang justru memberikan rasa kebersamaan yang kuat, yang semakin hilang di lingkungan perkotaan.

Dalam masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan khususnya di Hulu Sungai (Banjar Pahuluan) dahulu kala mereka masih kental menganut sistem "Bubuhan" yang secara akarnya hampir mirip dengan konsep kebersamaan yang dianut oleh masyarakat adat di perbuktian Meratus. Konsep bubuhan adalah konsep sosial yang erat kaitannya dengan kekerabatan. Konsep bubuhan sendiri bisa terikat secara kekeluargaan (famili) unsur lokalitas, kesejarahan dan wilayah.

Hal yang paling awal dan dasar dari konsep "Bubuhan" ini adalah keterikatannya dari latar belakang keturunan/kekeluargaan. pada masa lalu di sebuah kampung di Hulu Sungai, dimana satu sekop keluarga besar bisa tinggal "bagalumuk" (dalam bahasa Banjar) berkumpul atau bertumpuk berdekatan antar sesama keluarga mereka dalam kampung tersebut. Hal tersebut tentu didasari oleh faktor kedekatan, perlindungan dan memudahkan untuk saling tolong menolong antar sesama keluarga mereka. 

Setelah itu baru yang lebih luas, tidak hanya dari kalangan keluargany, lebih luas lagi mereka merasakan ikatan wilayah dan sejarah, misalnya pada wilayah kampungnya. Konsep bubuhan ini juga menjembatani penyelesaian berbagai permasalahan dan konflik yang terjadi di masyarakat apalagi yang erat kaitannya melibatkan antar bubuhan. Konsep "baparbaik" (adat badamai) yang sering saya lihat waktu masih remaja di kampung, memperlihatkan bagaimana konflik yang terjadi diselesaikan dengan menjalin komunikasi antar tetua bubuhan. Tak jarang permasalahan dapat diselesaikan sebelum memasuki ranah yang lebih berat. Namun semua ini mulai tergerus bahkan pada desa di pinggiran kota. Karena berbagai pengaruh (nanti kita bahasa di artikel selanjutnya)

Sistem "bubuhan" inilah yang banyak sekali membantu ketika masa perjuangan revolusi kemerdekaan di Kalimantan Selatan tahun 1945-1949. Letkol Hassan Basry mungkin melihat hal tersebut merupakan modal yang kuat bagi jalannya aktivitas perjuangan gerilya.

Kembali kita perhatikan bagaimana kebersamaan orang-orang Meratus sangat tercermin dari ritus adatnya, seperti yang tergambar apabila ada acara aruh Basambu, Bawanang/Mahanyari hingga Aruh Panutup.

Mereka akan gotong royong dalam mempersiapkan pelaksaan aruh tersebut. Ada yang mangawah, mahumbal, malamang, dsn yang lainnya. Ada banyak nilai positif yang dapat kita lihat dari sistem tradisional tersebut.

Kunjungan singkat saya ketempat saudara kita masyarakat adat perbukitab meratus seakan menjadi pengingat akan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang kini mulai terkikis di kehidupan modern dan kekotaan. Di tengah hiruk-pikuk modernitas, kita sering lupa betapa berharganya saling 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline