Cinta adalah sesuatu yang imateri. Cinta tidak bisa ditangkap oleh panca indera. Maka konsekwensinya, sains bukanlah pendekatan yang tepat untuk cinta. Menurut Michael Dua dalam bukunya Filsafat Ilmu, sains adalah yang dapat diterima oleh panca indera (empiris) dan rasio.
Semisal H2O adalah simbol dan bentuk aslinya adalah air sebagaimana yang kita lihat dan kita minum, kita terima itu menggunakan panca indera. Sementara mathesis atau mathematis adalah yang hanya bisa kita terima dengan rasio saja, tetapi tidak dengan panca indera.
Semisal simbol H2O yang bisa kita lihat wujud aslinya berupa air. Tetapi bisakah kita melihat wujud asli angka 1 didalam 1+1=2 ? 1+1=2 tentu benar menurut rasio kita.
Tetapi angka 1 hanyalah simbol dan bisakah kita lihat wujud angka 1 dalam kehidupan seperti halnya wujud H2O? Itulah perbedaan sains dan mathesis. Tetapi cinta bukanlah sains dan mathesis. Tiada bisa didekati dengan logika (rasio) ataupun panca indera, tidak bisa didekati dengan sains dan mathesis/mathematis/kalkulasi, tetapi bisa kita rasakan.
Kendati demikian, efek atau output dari cinta bisa kita rasakan. Oleh sebab cinta, Bandung Bondowoso membangun 999 candi untuk Sang Roro Jonggrang. Oleh sebab cinta, seorang ayah membanting tulang mencari nafkah untuk istri dan keluarganya. Oleh sebab cinta (rahmah) maka dua orang insan saling membahagiakan.
Seringkali seorang manusia terjebak dalam sebuah ilusi cinta. Terjebak dalam kesuraman cinta yang salah. Padahal sejatinya cinta itu datang daripada Sang Maha.
Sang Maha Cinta itu menciptakan kita, asal usulnya adalah cinta. Sesuatu yang sangat canggih, bisa kita rasakan tetapi diluar kuasa akal/rasio kita, tiada bisa didekati oleh sains maupun mathesis karena cinta menang tiada bisa diterima oleh panca indera.
Wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Kemudian Sang Maha menurunkan sebuah ajaran dan sebuah konsepsi ini asal usulnya juga rahmat (cinta) lil alamin (bagi sekalian alam).
Kemudian tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah. Apakah kita telah mencari cinta? Apakah kita telah dapat merasai getaran-getaran itu?
Mengapa kita belum mencinta? Enggankah kita menempuh jalan cinta ini? Agaknya apalah arti hidup bila tidak kutempuh jalan cinta ini. Hidup bukan dalam rangka bereksistensi.
Tetapi dalam rangka berjalan, walaupun merangkak-rangkak, menempuh jalan cinta ini. Daku ingin bertemu Sang Maha Cinta dengan kerinduan-kerinduan yang selama ini dipendam. Kerinduan-kerinduan yang disebut melalui doa-doa yang terucap disetiap malam.