Konflik besar-besaran yang terjadi di masa setelah orde baru di Ambon pada 1999, yang telah menelan sedikit kurang 5.000 korban jiwa. Pada tanggal 19 Januari 1999, konflik diawali dengan masalah pungutan biaya di terminal Batu Merah antara seorang pemuda muslim dari wilayah Batu Merah dan supir angkutan umum beragama Kristen dari wilayah Mardika. Perseteruan kemudian bertambah memanas dengan dibumbui isu sentimen Agama, perang antar desa dan wilayah pun tak bisa dihindari, saling serang dan bunuh terjadi. Kejadian demi kejadian pun terus bertambah dengan di hiasi isu-isu SARA bahkan politik didalamnya. Warga yang merasa minoritas pun terpaksa harus mengungsi di wilayah yang lain, warga Kristen yang minoritas di kampungnya harus rela mengungsi, begitu pun sebaliknya warga muslim.
Akibat konflik yang terjadi tersebut kehidupan warga Ambon luluh lantah di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat khususnya hubungan lintas agama warga Ambon. Di Ambon sendiri, jumlah masyarakat yang menganut agama Islam dan Kristen jumlahnya hampir berimbang. Hingga saat ini, imbas dari konflik yang terjadi di tahun 1999 menjadikan masyarakat Muslim dan Kristen di Ambon mempunyai trauma dan kewaspadaan yang tinggi. Segregasi yang di lakukan oleh pemerintah Maluku menjadikan masyarakat Ambon mempunyai sekat antar umat muslim dan kristen. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat sendiri untuk mengembalikan kondisi. Salah satunya yaitu Gerakan Perempuan Peduli (GPP), yang di inisiasi oleh para perempuan kristen yang kemudian juga merangkul kaun perempuan muslim untuk duduk bersama demi merajut kembali silaturahmi yang telah putus. Selain itu, gerakan pemuda pemudi lintas agama yang berkumpul dalam Jalan Merawat Perdamaian (JMP) juga ikut andil dalam aktivitas membenahi kondisi pasca konflik. JMP membangun kembali anak-anak yang ada di daerah konflik yang menurut observasi mereka telah terpapar kebencian yang diwariskan dari para orang tua mereka. Akibat segregasi juga anak-anak tidak mempunyai banyak komunikasi dengan sebayanya yang berbeda agama. Dengan berkeliling menceritakan dongeng-dongeng pluralis yang JMP mempunyai harapan supaya anak-anak yang tidak mewarisi kebencian dari para orang tuanya.
Kehidupan beragama dimasyarakat umum terkhusus pada masyarakat yang multikultural, dialog akan sangat dibutuhkan di dalamnya. Dialog antar umat beragama pada dasarnya adalah komunikasi dari dua arah atau dua sisi yang berbeda yang mempunyai tujuan ataupun keresahan yang sama. Dengan berdialog kemudian kedua sisi tersebut dapat menuju apa yang mereka masing-masing inginkan. Bikhu Parekh dalam bukunya yang berjudul Rethinking Multikulturalism berpendapat bahwa dalam masyarakat yang multikultural ada potensi lebih atas konflik komunal atau konflik antar identitas. Oleh karena itu hubungan yang baik akan memperkecil potensi konflik yang akan terjadi, hubungan yang baik dimulai dengan komunikasi yang baik pula, seperti berdialog. Dialog juga dapat diartikan sebagai sebuah komunikasi, namun ada beberapa komunikasi yang itu tidak dapat dimaksudkan sebagai sebuah dialog seperti; bertengkar, berdebat, dan sebagainya yang pada akhirnya menjadi sebuah komunikasi yang tidak sehat. Ada banyak masalah-masalah yang muncul yang diakibatkan oleh lemahnya komunikasi antar umat beragama yang da dalam siklus masyarakat tersebut.
Pada intinya, dialog adalah sarana untuk memperlajari lebih banyak kebenaran baru yang mana kedua belah pihak setuju tentang masalah tersebut. Dialog kadang-kadang digunakan untuk menutupi banyak kesalahan, misalnya mereka merasa benar tentang suatu subjek akan berdialog yang sedang terkenal saat ini karena gayanya yang kurang agresif akan lebih efektif dalam berkomunikasi dengan yang lain sehingga, mereka mengabaikan kebenaran dari subjek tersebut. jenis ini disebut sebagai manipulasi dari istilah dialog. Sehubungan dengan konteks dialog antaragama, maka dialog antaragama dapat diartikan sebagai dialog dengan topik agama oleh pihak yang memahami agama mereka sendiri dan komunitas agama lain yang kemudian sama-sama mempelajari kebenaran baru tanpa saling menyalahkan.
Dialog antar agama dapat dimaksudkan sebagai komunikasi dua arah, namun ada jenis komunikasi yang tidak termasuk dialog misalnya berkelahi, bertangkar, berdebat, dan sebagainya. Kemudian seperti dorongan, penguatan juga tidak termasuk dalam dialog. Pertama, yang mendasari penguatan dan seterusnya adalah asumsi bahwa kedua pihak memiliki pemahaman total tentang kebenaran subjek dan dengan demikian hanya perlu didukung dan dikuatkan. Sedangkan dalam dialog kedua pihak tidak memiliki pemahaman total tentang kebenaran subjek tetapi keduanya perlu mencari lebih jauh. Kedua, prinsip yang mendasari berdebat dan seterusnya, bahwa satu pihak memahami semua kebenaran, kemudian pihak lain hanya perlu diberitahu atau diyakinkan tentang hal itu. Sedangkan dalam dialog tidak ada satu pihak yang dapat memonopoli kebenaran subjek tersebut, keduanya perlu mencari lebih jauh.
Dalam dialog antaragama, terkait siapa yang mengikuti dialog adalah yang mengikuti prinsip bahwa setiap orang harus memutuskan sendiri atau menyadari apakah dia termasuk dari anggota komunitas agama atau tidak. Jadi pelaku dialog antaragama adalah mereka yang beragama. Demikian pula, yang berdialog bukan hanya terbatas pada perwakilan resmi masyarakat. yang berarti dialog antaragama tidak terbatas pada perwakilan resmi atau para ahli dalam berbagai tradisi, tetapi dapat melibatkan keseluruhan komunitas beragama, sehingga komunitas-komunitas itu dapat saling belajar dan memahami satu sama lain.
Tujuan dari berdialog dan mempelajari perbedaan dan kesamaan dari mitra dialog adalah untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk mendekatkan pikiran, perasaan dan tindakan atas dasar kesamaan yang dimiliki, namun hal ini dapat dicapai jika dialog antarama menjadi dialog dua sisi dan kita perlu terus menerus berdialog dengan rekan seagama kita, berbagi dengan mereka hasil dialog antaragama. Perbedaan yang didaaptkan dari dialog antar agama mungkin masuk kategori saling melengkapi, analog, dan kontradiktif. Kategori perbedaan dalam dua kategori pertama tidak hanya untuk dirasakan dan diakui tetapi juga harus dihargai.
Tujuan lain dari berkomunikasi dan dialog antar umat beragama adalah supaya tak terjadi konflik komunal dan kekerasan agama di dalam lingkungan masyarakat. Konflik komunal dapat diartikan sebagai kerusuhan yang terjadi dalam suatu perkumpulan (komunal) yang menjadikan suasana di komunal tersebut menjadi panas dan mengakibatkan timbulnya perpecahan secara internal. Salah satu penyebab konflik komunal juga bisa di dasari oleh motif agama, dalam hal ini kekerasan agama. Kekerasan agama yang dirasakan oleh beberapa kalangan yang di lingkup komunal tersebut menyebabkan adanya pemberontakan atas dasar ketidakterimaan dari kalangan yang merasakan kekerasan. Konflik komunal yang di dasari agama tersebut dapat menyebabkan tidak berkembangnya lingkungan masyarakat tersebut, segregasi, perpecahan, serta rasa tidak saling percaya satu sama lain.
Sangat disayangkan jika konflik dan perpecahan tersebut terjadi di kalangan masyarakat khususnya di negara Indonesia yang nitabene adalah masyarakat yang muktikultural dalam segi suku, bangsa, maupun agamanya. Usaha-usaha utntuk mencegahnya haruss dilakukan secara berkala. Pun jika telah terjadi kejadian seperti itu, maka perlu unntuk menindaklanjuti secara inntensif dalam membina masyarakat yang sedang terjadi konflik tesebut demi terwujudnya kedamaian. Beberapa usaha yang dapat dilakukan seperti; mengedukasi masyarakat akan pentingnya mejaga kerukukan masyarakat; membenahi dan menjalin interaksi, komunikasi masyarakat untuk menjalin kedekatan; serta mengajukan kolaborasi demi menjaga dan melestarikan kerukunan serta memutus tali perpecahan agar tidak terjadi lagi di waktu yang akan mendatang.
Konflik yang terjadi di Ambon 1999 mengajarkan kita akan pentingnya berdialog. Ketika masyarakat sudah mampu dan mau untuk berdialog maka rasa curiga dan tak saling percaya pun kemudian akan memudar dengan sendirinya siring berjalannya waktu. Sekali lagi harus disadari dengan seksama jika memang lingkungan masyarakat multikultural yang ada di Indonesia memanglah menjadi suatu kemajuan tetapi juga menjadi suatu tantangan yang besar bagi sebuah negara untuk dipersatukan, bukan di samakan. Karena bukan hanya soal agama, Indonesia juga negara yang kaya akan suku dan bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak bangsa yang mendiami nusantara. Jadi jika tak ada komunikasi ataupun dialog yang bagus antar sesama warga negara, maka bukan tak mungkin konflik-konflik yang sama seperti di Ambon akan kembali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Meski konflik di Ambon telah berakhir secara tampak mata, tak menutup kemungkinan konflik yang seperti akan memanas kembali jika pemerintah maupun masyarakat nya sendiri tidak mempunyai kemauan untuk kembali merajut persaudaraan yang erat antara umat beragama. Karena disadari ataupun tidak bibit-bibit yang perseteruan akan mudah di besarkan di kondisi masyarakat yang sudah pernah mempunyai trauma seperti itu. Meskipun pembangunan demi demi pembangunan yang dilakukan pemerintah Ambon telah mampu menutupi sisa-sisa konflik yang ada, namun jika moral dan trauma masyarakat belum disembuhkan serta sentimen agama ataupun SARA masih sangat hangat dikalangan masyarakat akan sangat rentan terulang kembali konflik yang sama. Perlunya untuk membuka seluas-luasnya ruang perjumpaan dan dialog masyarakat antar umat beragama, demi menghilangkan rasa dan prasangka masyarakat yang telah ditutupi dengan trauma yang sangat mendalam.