Lihat ke Halaman Asli

Bertemu Taufik Abdullah

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1341692680231793973

[caption id="attachment_193004" align="alignnone" width="560" caption="Sejarawan Taufik Abdullah (VIVANEWS.COM)"][/caption] SAYA menduga banyak sekali nama Taufik di negeri ini. Namanya berserakan di jejaring Facebook atau media massa –cetak atau online– maupun di atas kertas daftar hadir perkuliahan dan bangku sekolahan. Barangkali pengaruh Islam turut menjadi salah satu pemicu suburnya nama Taufik di republik ini. Tengok saja misalnya arti kata taufik menurut Kamus Bahasa Indonesia yang mengartikannya sebagai pertolongan Allah swt.

Pengertian agak lengkap saya temukan dalam blog ini. “Yang dimaksud taufiq di sini adalah ditutupnya jalan menuju keburukan dan dimudahkannya jalan kebaikan oleh Allah Ta’ala kepada seorang hamba. Artinya, seorang tersebut diberikan ilham oleh Allah Ta’ala sesuai kehendak Allah dalam syare’at-Nya; baik dalam keimanan maupun dalam amal perbuatan.” Saya kira taufik memang mengambil bentuk dasar dari taufiq.

Tapi, sudahlah. Saya tidak sedang membahas pengertian. Saya hanya sedang berseloroh sebelum menceritakan Taufik yang lain. Selasa, 10 April 2012, saya bertemu Taufik Abdullah. Bagi yang lain mungkin tak bermakna apa-apa. Bagi saya, bertemu Taufik yang sudah beruban di seluruh permukaan kepala ini merupakan sebuah pengalaman keren. Maklum, dialah salah satu dari tiga Taufik yang saya respeki. Selain Abdullah, Taufik lain adalah Ismail dan Hidayat.

Siapa tak kenal dua Taufik itu. Hidayat adalah satu-satunya Taufik peraih medali emas Olimpiade pada 2004 lalu. Bulutangkis mengantarkan pria Pangalengan yang baru memiliki Jaguar ini mengukir namanya dalam deretan nama olahragawan terkemuka dunia. Sementara Ismail adalah penyair nomor wahid di Indonesia. Dia satu-satunya orang yang jujur mengaku malu sebagai orang Indonesia. Hanya pada tiga Taufik itu saya respek atau bahkan bangga. Tidak untuk Kiemas atau Taufik lainnya.

Respek atau bangga mungkin bukan padanannya. Respek yang merupakan terjemahan dari respect tentu berbeda dengan bangga yang diturunkan dari pride. Saya kira padanan yang tepat untuk respek ada dalam bahasa Sunda: ajrih. Oya, saya juga tidak sedang membahas konsep respek. Saya sedang bercerita Taufik Abdullah. Dia kini menjadi mahluk langka atau bahkan nyaris punah. Dia begawan sejarah Indonesia modern yang tersisa. Tentu, ungkapan saya tidak untuk menafikan sejarawan lainnya.

Taufik adalah satu dari dua atau tiga sejarawan Indonesia paling prestisius. Satu nama begawan lainnya tentu saja milik mendiang Sartono Kartodirdjo. Sementara satu slot lainnya saya masih bingung milik siapa. Mungkin pantas dinisbatkan kepada almarhum Kuntowijoyo atau Anhar Gonggong atau Onghokham atau Nina Herlina Lubis atau AB Lapian atau nama lain saya belum yakin.

Sejenak saya berkunjung ke tahun 2000-an. Itulah tahun pertama saya menempuh  pendidikan sarjana di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Secara kebetulan, tahun itu pula Taufik menempati posisi puncak di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya terheran-heran ketika mengetahui bahwa orang nomor satu di lembaga prestisius itu adalah sejarawan.

Dalam benak saya, kok bisa seorang sejarawan menjadi Ketua LIPI. Bukankah sejarah adalah ilmu “kelas dua”, kalah keren dari ilmu-ilmu alam? Kesan itulah yang melekat dalam kepala saya yang waktu itu masih plontos. Saya yakin Taufik adalah sosok luar biasa. Dia mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang ilmuwan hebat di atas para ilmuwan biasanya. Jabatan Ketua LIPI terus memengaruhi konstruksi berpikir saya tentang Taufik Abdullah. Apalagi ketika saya mengetahui Taufik pernah menduduki posisi penting di institusi lintas bangsa. Sebut saja seperti Ketua Komite Eksekutif Program Kajian Asia Tenggara (ISEAS) Singapura, Wakil Presiden Asosiasi Ilmu Sosial Asia Tenggara Kuala Lumpur, serta Wakil Presiden Asosiasi Sosiologi Internasional, dan Dewan Riset Sosiologi Agama.

Tidak penting bagi saya untuk melihat latar belakang pendidikan Taufik Abdullah karena sebagian besar begawan sejarah di Indonesia merupakan produk lembaga pendidikan terkemuka. Cukup bagi saya mengetahui bahwa Taufik Abdullah meraih master dan doktor di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat. Lainnya tak perlu. Sialnya, saya tak pernah bertemu muka dengan pria flamboyan kelahiran Bukittinggi pada 3 Januari 1936 silam itu.

Dan, Selasa 12 April itu sungguh surprise. Saat saya duduk-duduk bersama tiga teman di belakang gedung dekanat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad yang baru diresmikan pagi harinya (sebelumnya bernama Fakultas Sastra), seorang pria tambun melintas. Mengenakan kemeja putih tanpa dasi, Taufik memasuki ruang kecil di salah satu bagian ruang sidang pascasarjana FIB. Rupanya dia ingin ke toilet setelah menempuh perjalanan Jakarta-Jatinangor.

Saya tak berani menyapa. Barangkali terlalu mewah bagi saya untuk tiba-tiba menyalami Taufik Abdullah yang (pasti lho) dia tak mengenal saya sebelumnya. Beda halnya ketika sejarawan generasi setelahnya, Susanto Zuhdi, melintas menuju ruang yang sama. Saya buru-buru mendatanginya. Saya menyalami seraya mengenalkan kembali bahwa saya pernah mengundangnya menjadi pembicara seminar saat masih menjadi mahasiswa di UPI. Waktu itu tahun 2003. Beruntung dia masih ingat saya. Kami pun berbincang sukup lama, mulai Buton yang pernah ditelitinya hingga Yogyakarta yang menurutnya harus dipelihara keistimewaannya.

Ruang sidang dibuka, dan saya masuk melalui pintu samping. Tepatnya dari arah belakang promovendus yang siang itu menjalani sidang tertutup untuk program doktor Ilmu Sejarah di FIB Unpad. Saya dan pengunjung lain santai sambil menunggu Sri Ana Handayani, promovendus tadi, dipersilakan menempati kursi. Oya, Ana atau Sri Ana Handayani merupakan doktor perempuan pertama produk Pascasarjana Ilmu Sejarah Unpad. Ana yang menjalani penelitian di tengah bekapan kanker ganas stadium akhir berhasil mempertahankan disertasinya tentang “Dinamuka Perkreditan di Priangan pada 1900-1942” dengan nilai A. Selamat dan salut buat Bu Ana.

Taufik Abdullah yang menjadi anggota tim promotor duduk santai di antara ketua tim promotor Nina Herlina Lubis dan anggota lainnya Sobana Hardjasaputra. Ketiganya adalah guru besar ilmu sejarah. Saya teringat tulisan Nina Lubis dalam buku penghormatan untuk 80 Tahun Sartono Kartodirdjo. Dalam salah satu bagiannya, kalau tidak salah judul tulisannya Kesaksian Sang Murid Terakhir, Nina bercerita tentang perjuangan panjang menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM). Nina yang doktor sejarah pertama di Indonesia ini sempat menyinggung bahwa Taufik adalah sosok yang arogan (sebenarnya istilah ini perlu saya verifikasi, nanti saya lihat bukunya, heheh). Wow!

Saya perhatikan betul Taufik yang duduk di sayap kanan promovendus. Dia makan. Minum. Mengupas jeruk. Dia beranjak membawa dus bekas pembungkus makanan tadi. Rupanya sang begawan mencari tempat sampah karena begitu menemukan tempat yang dimaksud dia meletakkannya. Dia kembali ke tempat duduk semula. Sesekali Taufik ngobrol dengan Nina maupun Sobana serta Susanto yang duduk di seberangnya.

Akhirnya saya menemukan alasan mengapa dia –barangkali– disebut arogan. Barangkali karena dia memang jenius. Yang menarik, saya memang melihatnya Taufik sebagai sosok flamboyan. Dengan reputasi keren di kalangan sejarawan maupun ilmuwan lain, Taufik santai saja ketika dia menanyakan apa padanan FIB dalam bahasa Inggris. Ketika koordinator program pascasarjana FIB bilang namanya faculty of art, Taufik berkerut untuk kemudian menimpali, “Kalau faculty of art tidak ada bedanya dengan fakultas sastra.”

Faculty of Art sama saja Sastra. Faculty of Leterary sudah biasa. Mungkin faculty of humanities. Saya kira perlu dewan guru besar rapat membahas nama fakultas. Nama penting karena menjadi identitas pertama. Jangan sampai masih ada pernyataan ‘maksudnya begini’. Berarti namanya tidak menjadi identitas,” tambah Taufik.

Saran untuk membahas nama fakultas kembali dilemparkan Taufik ketika Dekan FIB Dadang Suganda tiba di ruang sidang. Sebagai sosok paling senior, Taufik menyampaikannya dengan gaya ringan tanpa tedeng aling-aling. Mendapat saran itu Dadang menjawab akan membahasnya kemudian waktu.

Sidang dimulai dan Taufik Abdullah tetap santai, nyaris tak ada perbedaan antara sebelum sidang dengan masuknya momen sakral ujian sidang doktor. Alamak, Taufik tak melepas tusuk gigi dari mulutnya saat sidang tengah berlangsung. Bahkan berkali-kali diputar beragam arah menggunakan giginya. Sesekali mencatat. Sesekali melepas kaca mata untuk kemudian memakainya kembali. Saya menghitung lebih dari lima kali Profesor Taufik menanggalkan kaca matanya yang entah minus atau plus berapa. Rambutnya yang putih tidak lepas dari elusan tangannya. Bagi Taufik yang mungkin telah menguji maupun menjadi promotor doktor berkali-kali, barangkali ujian bukan lagi hal sakral. Semua biasa saja.

“Jelek-jelek begini saya juga pernah bikin disertasi,” ujarnya ketika mendapat jatah bicara dari ketua sidang. Tak pelak kelakarnya langsung mendapat sambutan tawa semua yang hadir. Lontaran Taufik yang terkesan konyol tadi rupanya menjadi ciri khas dia ketika mengawali sesuatu yang serius.

Saya masih ingat ketika Taufik berbicara konsep-konsep besar tentang sejarah, filsafat, nasionalisme, hingga ramalan masa depan dalam buku Nasionalisme dan Sejarah. Di sana Taufik mengawali bahasan berat historiografi maupun masalah kebangsaan dengan sebuah cerita makanan di Makassar, dari pengalaman pertanyaan peserta seminar, atau bahkan cerita tentang kaset berisi rekaman lagu-lagu lawas. Wuihh, saya kagum dengan cara dia menulis. Membaca tulisan-tulisannya seperti mendapat asupan gizi sekaligus vitamin otak.

Tak terasa, saya meracau sudah lebih dari 1.300 kata. Saya capek tapi sulit bagaimana menutup tulisan. Begini saja, sesaat menutup bicaranya dalam sidang Taufik mengingatkan tentang lima peranan yang dilakukan seseorang saat menyusun karya ilmiah. Pertama, dia berperan sebagai intelektual. Tugasnya adalah bertanya. Mengapa dan mengapa. Berikutnya adalah sebagai ilmuan, kemudian sebagai pekerja, ilmuwan lagi, dan intelektual lagi. Karena itu, bagian simpulan dalam karya ilmiah merupakan sebuah refleksi peneliti.

Lalu, mengapa Taufik Abdullah mengatakan hal itu padahal promovendus sudah menuntaskan tugasnya? “Karena di sini ada yang lain yang ikut menyaksikan,” katanya sambil melirik ke arah saya. Hmm, tentu saja lirikan itu buat semua bobotoh sidang yang nota bene belum menyelesaikan tesis maupun disertasi. Begitulah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline