Barangkali di antara kompasianer yang ngariung di Nanny’s Pavillon Library, Sabtu (7/7) sore kemarin, saya masuk dalam kategori budak baong, heheh... Maklum, meski tercatat kali pertama di Kompasiana pada 8 September 2010, saya baru delapan kali menulis. Bila dibuat rata-rata dengan cara membagi jumlah tulisan dengan jumlah hari, maka 8/554 menghasilkan angka 0,014. Satu kata: mengerikan sekaligus ngerakeun, heheh..
Tapi, sudahlah hitung-hitungan nu ngisinkeun tadi abaikan saja. Kali ini saya hanya ingin memberikan beberapa usul terhadap rencana –yang sudah hampir pasti– peluncuran kanal Kompasiana Bandung. Tidak usah pula membuat summary atau reportase hasil pertemuan yang disuguhi Dad's Favorite Fries, pancake cokelat, dan tarian seluruh kru Nanny’s. Mana yang paling enak di antara ketiganya, saya lupa. Soal reportase, saya haqqul yakin sudah ada yang melaporkan.
Sambil ngantuk dan tekanan deadline majalah yang saya kelola, berikut beberapa catatan itu. Pertama, perlukah Bandung punya kanal tersendiri? Jawabannya tentu saja ada di dapur Kompasiana, dan sudah ada jawaban: perlu. Saya setuju, setidak-tidaknya bila kita melihat jumlah penduduk Jawa Barat. Dalam konteks Kompasiana ini, embel-embel Bandung pasti lebih dar sekadar sebuah kota, melainkan ikon Jabar itu sendiri.
Sensus Penduduk (SP) 2010 lalu mencatat penduduk Jawa Barat sebanyak 43.021.826 jiwa, provinsi paling gemuk di republik ini. Persentasenya sekitar 18,9 persen dari total penduduk Indonesia yang 235 juta. Bandingkan dengan Gorontalo hanya hanya satu juta jiwa misalnya. Kalau sudah begitu, mengurus Jabar sama dengan megurus hampir seperlima (1/5) Indonesia atau gubernur Jabar itu sama dengan gubernur 43 provinsi Gorontalo. Nah, lho!
[caption id="attachment_193009" align="alignnone" width="560" caption="Tren penduduk Jawa Barat dari tahun ke tahun (dalam jutaan)"][/caption] Jumlah fantastis di atas barangkali sudah cukup bagi Kompasiana untuk menjadikan Bandung sebagai teritori tersendiri. Belum lagi bila variabelnya bergeser ke arah keragaman budaya dan kreativitas kota yang terus berdenyut. Lagi-lagi ini berkaitan dengan demografi. SP 2010 juga mencatat laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1,89 persen. Nah dari persentase itu, pertumbuhan alami atau kelahiran dikurangi kematiannya 0,89. Sementara migrasi alias perpindahan penduduk 1,0. Artinya, pertumbuhan penduduk Jawa Barat lebih banyak dipicu kedatangan orang luar Jawa Barat. Urang Jawa Barat pituin bertambah juga, tapi tidak sebanyak tamu.
[caption id="attachment_193010" align="alignnone" width="560" caption="Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat (dalam persen)"]
[/caption]
Bagi saya, LPP menjadi indikator penting bagi keragaman budaya yang menjadi catatan kedua saya. Migran yang datang ke Jawa Barat tidak serta merta melepaskan identitas kultural mereka. Kalaupun memang kultur Bandung atau Jawa Barat merasuki jiwa mereka, tentu hasilnya tidak 100 persen, setengahnya pun barangkali tidak. Mereka itulah urang Bandung hybrid, hihihi.. Sejenis percampuran bahan bakar minyak dengan listrik pada mobil-mobil ramah lingkungan.
Konsekuensi hadirnya kaum hybrid ini menunjukkan betapa Bandung begitu beragam. Karena itu, konten Kompasiana Bandung sejatinya lebih moderat terhadap pendatang. Identifikasi kesundaan terhadap nama rubrik sama dengan menafikan tamu-tamu tadi. Kekhawatiran saya, pelabelan yang kaku terhadap rubrik hanya akan menjadi garis demarkasi bagi mereka yang secara generik bukan urang Jawa Barat. Faktanya, mereka hidup di Jabar. Juga bekerja dan membayar pajak bagi Jabar. Bahkan, sangat mungkin sudah banyak generasi hybrid yang dilahirkan di Jabar.
Konkretnya, alangkah baiknya nama-nama rubrik cenderung menggunakan terma-terma umum. Dengan begitu, lebih familiar bagi semua kalangan. Lebih penting lagi, semua merasa memiliki, baik urang Bandung pituin maupun Bandung hybrid. Oh ya, simkuring istuning pituin urang Sunda, pun biang ngababarkeun simkuring di Majalengka, tangtos Jawa Barat atuh nya. Kumagi kitu, ulah disaha-saha. Entahpun saya mengusulkan agar Kompasiana Bandung lebih plural, semata-mata demi visi kebangsaan. Anjrit, sok keren gaya negarawan kieu.
Lalu, di mana keistimewaan Bandung dalam Kompasiana? Inilah usul ketiga yang sebenarnya sudah diungkapkan di Nanny’s. Hal-hal yang ikonik Bandung atau Jabar sudah selayaknya mendapatkan tempat khusus di kanal regional ini. Bentuknya, Kang Pepih Nugraha dan Iskandar Jet (dua-duanya baru saya temui di Nanny’s tadi) tampaknya sudah mengakomodasi lebih dini. Misalnya Bobotoh untuk merepresentasikan Persib atau Udar-ider untuk travelling.
Khusus Persib saya ingin memberi catatan begini. Beberapa waktu lalu, PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) melakukan survei jumlah suporter alias bobotoh Maung Bandung di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Surabaya. Hasilnya, Cianjur tercatat sebagai dengan jumlah bobotoh terbanyak, 637.263 orang. Bandung sendiri bertengger di urutan kedua dengan 506.774 orang. Yang menarik, DKI Jakarta juga tercatat memiliki jumlah bobotoh lumayan, sebanyak 260.056 orang. Angka itu jauh lebih besar dari Kota Surabaya yang hanya ada 93.965 orang.
[caption id="attachment_193011" align="alignnone" width="500" caption="Bobotoh Persib di stadion (Repro Bandung Ekspres)"]
[/caption] Jumlah itu sudah jelas menunjukkan bagaimana Persib mengakar di Jawa Barat dan warga Jabar yang ngumbara ke berbagai tempat. Jangan heran bila selalu ada spanduk bobotoh ikut mejeng di setiap laga Persib di luar kandang. Dalam beberapa kasus laga tandang, jumlah bobotoh mengalahkan jumlah penonton tuan rumah. Fanatisme juga ditunjukkan dari penjualan merchandise dan jersey. Yang paling fenomenal bagi saya, Ayi Beutik yang panglima Viking Persib Club menamai anaknya Jayalah Persib. Pokona mah Persib nu aing!
Apresiasi saya lebih tinggi lagi untuk rencana penyediaan ruang khusus berbicara bahasa Sunda. Bagi saya, rubrik Nyunda Yu! yang digagas Kompasiana merupakan sebuah dedikasi yang luhur dari Kompasiana untuk upaya pelestarian bahasa Sunda. Inilah kemewahan yang tak ternilai untuk masyarakat Jawa Barat. Saya tidak peduli apakah bahasa Sunda yang dihadirkan sesuai dengan undak-usuk basa Sunda atau tidak. Itu tidak penting. Biarkan bahasa berkembang memilih jalannya sendiri. Bahkan, bahasa kasar dalam batas-batas tertentu menjadi ciri bagi keakraban sebuah komunitas. Di Bandung misalnya, urang Bandung kurang akrab kalau tidak pakai kata (punten) anjing. Bener teu, (sakali deui punten) anjing!
---------
Buat Ibu Lilih Wilda plus semua kompasianer yang hadir di Bandung, berikut foto-foto acara kemarin.
[caption id="attachment_193041" align="alignnone" width="600" caption="Di sini ngariung di Bandung, Nanny"]
[/caption] [caption id="attachment_193042" align="alignnone" width="600" caption="Library, ada buku pastinya."]
[/caption] [caption id="attachment_193043" align="alignnone" width="421" caption="Ada pancake yahuuut cokelat. "]
[/caption] [caption id="attachment_193044" align="alignnone" width="566" caption="Ada juga pancake blueberry."]
[/caption] [caption id="attachment_193045" align="alignnone" width="600" caption="Boleh juga Nanny�s Favorite Fries."]
[/caption] [caption id="attachment_193046" align="alignnone" width="403" caption="Dan, ehem2 ada ini juga."]
[/caption] [caption id="attachment_193047" align="alignnone" width="600" caption="Pemandu diskusi yang enakeun."]
[/caption] [caption id="attachment_193048" align="alignnone" width="600" caption="Bersama Kang Pepih bos dapur Kompasiana. "]
[/caption] [caption id="attachment_193050" align="alignnone" width="600" caption="Pemaparan keren dari Bang Iskandar "]
[/caption] [caption id="attachment_193052" align="alignnone" width="600" caption="Ikut urun rembug dalam sawala."]
[/caption] [caption id="attachment_193054" align="alignnone" width="600" caption="Dan, ujung-ujungnya narsis, heheh.."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H