Lihat ke Halaman Asli

Multitafsir "Kebahagiaan"

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lama hibernasi dari dunia tulis-menulis, akhirnya 'penyakit' untuk belajar menulis kambuh kembali. hehe.. Hal yang selalu menghantui saya untuk saat-saat ini adalah tentang tugas akhir sebagai mahasiswa atau biasa disapa oleh mahasiswa-mahasiswa dengan script sweet atau pada titik ekstrimnya dipanggil dengan skripshit. hehe.. Namun kita tidak akan menggali lebih jauh mengenai itu.....

"Kebahagiaan" adalah tujuan semua manusia. Bisa dipastikan bahwa "bahagia" lah yang dicari oleh semua orang. Bagi saya, bahagia adalah ketika bertemu dengan orang tua (maklum, saya orang 'kampung' yang telah lama berpisah dari orang tua). Makanya 'pulang kampung' adalah momen yang selalu saya tunggu-tunggu. Hal lain yang membuat saya bahagia adalah ketika mata kuliah saya dapat A atau saat pembimbing saya meng acc skripsi saya (tentu, karena status saya sebagai ' mahasiswa'). Makanya kebahagiaan bagi sebahagian orang yang berstatus mahasiswa adalah ketika mendapat nilai tinggi. Bagi sopir angkutan, banyak penumpang adalah kebahagiaan tersendiri baginya. Berbeda lagi untuk "maaf" pengemis, kebahagiaannya terletak pada saat ada orang yang iba kepadanya dengan sedikit berbagi rejeki kepadanya. Akil Muchtar (ex ketua MK periode 3) misalnya bahagia ketika menerima suap dari kliennya misalnya. Seorang anak bahagia ketika ibunya membelikan mainan untuknya dan masih banyak contoh lain. Lantas, apakah 'kebahagiaan' itu relatif atau mutlak? Faktanya, tiap orang berbeda letak kebahagiaannya masing-masing. Ataukah itu hanya 'kesenangan' bukan 'kebahagiaan'? Atau bisa jadi ini hanya masalah konsepsi yang dimiliki oleh tiap orang? ahhhhh.. Pangkal dan ujung-ujung-ujung nya selalu saja pada pengetahuan.

Ingat!!! Kita hidup di dunia yang sudah ribuah kali lebih maju dari jaman dulukala. Dengan segala kompleksitas modern saat ini, kebahagiaan hadir dengan bentuk dan wajah yang beragam. Tidak sedikit mereka yang bergelimangan harta dan jabatan justru kehilangan makna kebahagiaan yang sedang dicari. Ternyata harta dan jabatan bukanlah sumber kebahagiaan, tetapi kerap kali menjadi sumber malapetaka yang menumpahkan darah dan nyawa. Sejarah umat manusia telah mengabarkan kepada khalayak kita bahwa prestisesosial yang begitu dibanggakan manusia dengan harta dan jabatannnya seringkali berakhir dengan berbagai tragedi mengenaskan. Kuasa harta dan jabatan membungkan nurani kemanusiaan, sehingga kebahagiaan yang ingin dicapai justru sirna.

Ditengah hiruk-pikuk kebingungan ini, Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat) hadir mengumandangkan tafsir kebahagiaan di tengah kesulitan hidup manusia dalam menggapainya. Tafsir kebahagiaan yang diurai oleh beliau mencoba menggali kebahagiaan dari sumbernya yang sejati, bukan dari aksesori kehidupan yang artifisial (tiruan atau buatan) dan gamang. Dengan kembali kepada sumber asalnya, kebahagiaan bisa diraih dengan penuh keyakinan yang teguh, bukan dengan kegembiraan sesaat yang melenakan dan memabukkan seperti candu. Aksesori kehidupan yang kerap dilalui manusia untuk mengais kebahagiaan seringkali hanya menampakkan kebahagiaan dengan wajahnya yang luar, dan penuh citra, sehingga yang lahir adalah kebahagiaan sementara, semu dan palsu. Tafsir kebahagiaan yang dikumandangkan Kang Jalal adalah tafsir yang kembali dalam ajaran agama. Ingatkah kita bahwa setiap hari, paling tidak sepuluh kali, muadzin (tukang adzan) di seluruh dunia Islam meneriakkan hayya ala al-falah, atau marilah meraih kebahagiaan? Seperti para muazin, buku ini mengajak kita menjadikan Al-Quran sebagai penuntun hidup bahagia dan sukses dunia-akhirat. Nasehat yang disuguhkan Al-Quran benar-benar indah dan menarik. Ambil contoh, halilintar dapat menimbulkan ketakutan dan bisa pula melahirkan harapan. Musibah dan bencana bisa menumbuhkan kearifan, bisa pula melahirkan keputusasaan. Kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran bisa menjadi sumber bahagia. Pun bisa menjadi biang kerok penderitaan. Semua tergantung pada cara kita memandang dan menghadapi kenyataan hidup. Ya, sesungguhnya hidup hanya soal sudut pandang dan sudut pandang bertumpu pada pengetahuan yang kita miliki. Jadi lagi-lagi ini soal pengetahuan, satu objek tentu berbeda untuk beberapa orang.

Hasil kontemplasi Kang Jalal yang dituangkan dalam bentuk buku ini menggali inspirasi dari ayat-ayat suci tentang bagaimana kita menyikapi keadaan yang kita hadapi dan disertai ulasan dari hadis Nabi dan kisah-kisah menghibur, plus penemuan-penemuan mutakhir sains. Hasil pemikiran beliau membantu kita menempatkan diri dalam sudut yang tepat agar realitas yang kita hadapi bisa memberikan harapan dan kebahagiaan. Sisi hukum dan teologis Al-Quran sudah banyak dikupas, tapi sisi psikologis Al-Quran masih jarang diulas. Catatan-catatan ringan yang diuraikan Kang Jalal secara psikologis ini hadir dengan sangat cair dan renyah, sehingga memudahkan kita memahami seluk-beluk kebahagiaan yang begitu rumit kita pahami dengan sangat mudah dan nyaman kita jelajahi. Beliau tidak menjustifikasi kebahagiaan dengan status hukum halal dan haram, melainkan dengan pendekatan psikologi yang memungkinkan kita bisa hadir dalam berbagai percakapan teologis yang diramu dalam berbagai kisah para Nabi dan guru bijak kemanusiaan. Yah... kalau semua orang sudah bijak, sepertinya tidak akan ada lagi masalah. hehehe

Buku ini hadir untuk menyapa manusia modern yang sibuk dengan rutinitasnya yang mekanistik. Tafsir yang membuka “jembatan emas” bagi pembaca dalam mengarungi samudra kebahagiaan yang tiada tepinya: kebahagiaan yang lahir dari samudera ilahi. Kebahagiaan demikian inilah sebenarnya yang menjadi kegelisahan berbagai komunitas modern yang terus menggali dan mencari sumber kebahagiaan tanpa henti. Buku ini tidak menggurui kita untuk menemukan kebahagiaan kita, tetapi menjadi teman berbincang dan bercakap yang asyik untuk membuka mata batin hati kita dalam menerangi jejak hidup ini. Mari bersama-sama membuka mata batin yang senantiasa selalu bijaksana.

Jadi, mari luangkan sedikit saja waktu kita untuk bercengkrama dengan buku tulisan beliau. Setidaknya, itu bisa menjawab sedikit kegelisahan-kegelisahan Anda sebagai manusia yang hidup di jaman edan ini jaman dimana hegemoni kapitalistik semakin menjadi-jadi. Itupun kalau anda gelisah!!! Kalo tidak, tak apalah. hehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline