- INTEGRASI TASAWUF DENGAN SYARIAH
Ajaran Islam dibangun di atas tiga landasan, yaitu akidah, syariat, dan akhlak. Ajaran tersebut secara lengkap tercermin pada pribadi Nabi Muhammad Saw sebagai Al-Quran hidup. Nabi Muhammad Saw merupakan figur sentral yang menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual. Istilah syariat (syari'ah) menurut bahasa berarti jalan, yakni jalan besar di sebuah kota. Syariat pun berarti apa yang diturunkan Allah Swt kepada para rasul-Nya, meliputi akidah dan hukum-hukum, sedangkan secara khusus, syariat berarti hukum Islam."
Syariat dalam arti luas adalah al-din, yaitu agama yang diturunkan Allah kepada para nabi, sebagaimana dijelaskan pada Q.S. Asy-Syr [42]: 13 yang artinya berbunyi, "Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)- Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)."
Integrasi Syariah dengan Tasawuf. Islam adalah agama yang memadukan syariah dan akhlak (tasawuf) di atas landasan akidah Pada diri Rasulullah SAW Interaksi tersebut tercermin pada sikap beliau yang konsisten mematuhi syariah dalam kehidupan pribadi dan sosial (ibadah dan muamalah). Sementara di sisi lain, beliau adalah seorang yang melewati sebagian malamnya dengan rukuk dan sujud, serta tetes air mata kerinduan kepada Allah. Hati beliau senantiasa berhubungan dengan Allah. Namun, kerinduannya kepada Allah memberikan kebaikan kepada sesamanya tanpa mengenal musim dengan cita rasa kemanusiaan universal. Integrasi keduanya bisa merenggang, namun akan terus diperjuangkan oleh ulama hingga mendekat dan menyatu kembali secara simponi. Sunah Nabi menegaskan, hanya dengan memadukan keduanya, kebaikan dunia dan akhirat akan terwujud, karena keduanya memenuhi kebutuhan individu, sosial, dan spiritual manusia secara terpadu. Integrasi antara tasawuf dan syariah merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Tasawuf, yang merupakan dimensi mistik dan spiritual Islam, dan syariah, yang merupakan hukum Islam, saling melengkapi dalam membentuk praktik keagamaan yang utuh. Dalam ajaran Islam, integrasi ini tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad, yang menaati syariah secara konsisten sambil mendalami dimensi spiritual melalui praktik tasawuf.
Tasawuf, atau sufisme, menekankan aspek-aspek seperti pembinaan akhlak, hubungan antara manusia dan Tuhan, dan pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam. Integrasi tasawuf dengan syariah menekankan bahwa aspek-aspek ini tidak bertentangan dengan hukum Islam, melainkan saling melengkapi. Misalnya, tasawuf sunni, yang merupakan aliran tasawuf utama, menekankan bahwa ajarannya selaras sepenuhnya dengan hukum syariah dan tidak mengandung unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam sejarah Islam, tokoh-tokoh seperti Imam al-Ghazali dikenal karena kontribusinya dalam memadukan antara tasawuf dan syariah. Beliau menulis banyak karya yang membahas kedua aspek ini, dan pemikirannya memiliki pengaruh yang besar dalam pengembangan ajaran Islam. Integrasi antara tasawuf dan syariah juga memiliki relevansi dalam konteks kehidupan modern. Dalam masyarakat kontemporer, di mana sering terjadi polarisasi antara aspek-aspek spiritual dan hukum formal, pemahaman yang utuh tentang integrasi ini dapat membantu umat Islam dalam mempraktekkan ajaran agamanya secara komprehensif. Dengan demikian, integrasi antara tasawuf dan syariah merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad dan memiliki relevansi yang besar dalam konteks kehidupan modern. Melalui pemahaman yang utuh tentang integrasi ini, umat Islam dapat mempraktekkan ajaran agamanya secara komprehensif dan seimbang.
Integrasi antara tasawuf dan syariah merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Tasawuf, yang merupakan dimensi spiritualitas dan akhlak, dan syariah, yang merupakan hukum Islam, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam ajaran Islam, integrasi ini tercermin dalam kehidupan Rasulullah SAW, yang secara konsisten mematuhi syariah sambil menjaga hubungan spiritual yang erat dengan Allah. Studi juga menunjukkan bahwa konsep tasawuf sebagai bagian integral dari pendidikan Islam di pondok pesantren, di mana tasawuf dan syariat dianggap sebagai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan tasawuf tanpa syariat dianggap tidak akan mencapai tujuan. Oleh karena itu, pendidikan Islam berbasis tasawuf harus memperhatikan penerapan unsur-unsur syariat dan hakikat secara seimbang. Dalam konteks ini, integrasi tasawuf dengan syariah memainkan peran penting dalam membangun keseimbangan antara aspek hukum dan spiritualitas dalam kehidupan umat Islam. Hal ini juga mencerminkan upaya untuk mencapai tujuan akhir, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui pemahaman dan praktik yang seimbang antara syariah dan tasawuf.
- Ihsan Esensi Ajaran Keruhanian Dalam Islam
Banyak ayat Alquran yang mendorong umat Islam untuk mengembangkan kualitas nurani manusia (al-dhamr al-insn) agar merasakan ihsn, yakni beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, meskipun manusia tidak dapat melihat-Nya, karena Allah senantiasa melihat manusia. Esensi ihsn terletak pada kesadaran bahwa manusia setiap saat berada dalam pengawasan Allah dan para malaikat, baik di dalam salat maupun di luar salat. Kesadaran itu terletak pada kalbu yang memiliki dua kekuatan: al-quwwah al-dzawqiyyah (kepekaan emosi) dan al-quwwah al-rhiyyah (kepekaan spiritual). Dengan demikian ihsn merupakan modal keruhanian (spiritual capital) untuk menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab dalam melahirkan kebaikan kepada manusia dan lingkungan hidup. Keharusan untuk menyadari bahwa manusia itu berada dalam pengawasan Allah dan para malaikat tersurat dalam Al-Qur'an sebagai berikut
"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir." (Q.s. Qaf [50]: 18)
"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (Q.s. Ghfir [40]: 19).
"Luqman berkata, "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui." (Q.s. Lukmn [31]: 16).