Lihat ke Halaman Asli

BBM Naik, LPG Ikutan, Warteg Gak Ketinggalan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nasib anak kos di perantauan, mengingat kisah pilu di seputar keuangan anak kuliah maupun sekolah yang jauh dari rumah. Setelah BBM naik kebutuhan akan premium jadi dua kali lipat. Yang tadinya mengisi tangki bensin motor hanya mengeluarkan Rp 10.000,- untuk satu minggu, sekarang menjadi Rp 20.000,-. Belum lama berselang gantian tarif warteg plus angkringan naik, dengan alasan harga sembako dan lpg naik. Belum lagi stok kekurangan. Beginilah nasib anak kos yang harus menanggung resiko kebijakan pemerintah. Tapi kebijakan dari orangtua tentang penghasilan per bulan tak kunjung bertambah. Seperti sebelumnya dan biasanya kualitas super duper hemat harus dijalankan.

Sebagai seorang pelajar terus terang saya heran, mengapa negaraku sampai harus mengimpor atau mensubsidi barang yang seharusnya menjadi milik kita. Padahal banyak sumber daya alam mentah kita di ekspor ke luar negeri. Terus bagaimana dengan bunyi undang-undang dasar 45 tentang pengaturan bumi, air, udara, dan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Tapi nyatanya rakyat harus menanggung kebijakan yang terlalu komplek. Nyatanya kesejahteraan rakyat yang paling dominan tentang hak pendidikan, kesehatan, pekerjaan, serta kehidupan yang layak belum didapatkan secara keseluruhan.

Terlebih lagi tentang pendidikan yang nota bene merubah kurikulum yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan internasional. Sekiranya yang menjadi bingung adalah murid, orang tua, dan guru. Semua terkesan terlalu dipaksakan, mungkin untuk taraf pendidikan di perkotaan sekelas kotamadya bisa untuk mengikuti. Akantetapi untuk tingkat kabupaten dan terletak di pedalaman apakah mungkin dapat mengikuti kebijakan sedemikian rupa. Bangunan saja reot, mau sekolah dan bisa baca tulis saja sudah beruntung.

Kalau saja program kesejahteraan rakyat yang di usung pemerintah lewat program BPJS dapat terlaksana seluruh pelosok tanah air. Mungkin rakyat akan senang, tapi bagaimana bisa dapat program tersebut, jika kartu tanda penduduk saja tidak punya. Dan yang menjadi Ironi negeriku buat kartu tanda penduduk harus bayar. Padahal sudah kewajiban pemerintah untuk mendata dan menyediakan kartu kependudukan dan catatan sipil bagi warganya. Rakyat disuruh bayar pajak, dan pajak setiap daerah berbeda-beda. Lagi-lagi tergantung kebijakan. Kewajiban sudah dipenuhi tapi hak-hak masyarakat harus ditanggung sendiri. Kalau rakyat di perbatasan lebih memilih mejadi urban, mungkin wajar. Karena mereka menganggap tidak terlalu diperhatikan. Karena tergiur oleh tetangga yang lebih hot dan bahenol sexi, itu kata teman saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline