Ilustrasi - nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Shutterstock)
Menjadi sebuah bangsa yang ekonominya selalu saja bergantung dengan kebijakan ekonomi negara lain memang tidak mengenakkan. Namun, itulah kenyataan yang akan dihadapi Indonesia beberapa bulan kedepan. Hal ini terkait dengan kebijakan bank sentral Amerika Serikat atau The Fed yang memiliki wacana untuk menaikkan suku bunga acuannya di triwulan kedua atau ketiga tahun ini. Kenaikan suku bunga acuan The fed sebesar 25 atau 50 basis point saja dari suku bungannya yang sekarang akan sangat berdampak luas bagi perekonomian Indonesia.
Kenaikan suku bunga acuan tersebut akan mempekecil selisih keuntungan dari investasi yang akan didapat investor luar negeri dari kegiatan investasinya di Indonesia terutama investasi portofolio atau surat-surat berharga seperti saham dan obligasi yang diterbitkan baik oleh perusahaan swasta maupu pemerintah Indonesia.
Dengan mengecilnya selisih (spread) antara berinvestasi di Indonesia dan berinvestasi di luar negeri akibat kenaikan suku bunga acuan The fed maka perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak pelarian modal keluar atau capital outflow. Pelarian modal ini tidak akan menjadi masalah yang berarti bagi perekonomian Indonesia andai kata Indonesia menikmati surplus di neraca berjalan atau current account surplus.
Karena jika modal asing yang ditanam di Indonesia tiba-tiba saja keluar sedangkan Indonesia mengalami surplus neraca berjalan maka tidak akan terjadi tekanan yang cukup berarti terhadap mata uang rupiah akibat capital outflow disebabkan kebutuhan akan pembayaran barang-barang impor dapat tertutupi oleh kelebihan ekspor. Berdasarkan data Bank Indonesia pada triwulan pertama tahun 2015 tercatat bahwa Indonesia mengalami defisit transaksi bejalan sebesar 25,4 miliar dollar AS secara total pada tahun 2014.
Bank Indonesia juga mencatat bahwa pada triwulan pertama tahun 2015 defisit transaksi berjalan mengalami perbaikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dari minus 6,8 miliar dollar AS pada triwulan keempat tahun 2014 menjadi 3,8 miliar dollar AS pada triwulan pertama tahun 2015. Penurunan ini disinyalir bukan karena ekspor Indonesia menjadi lebih tinggi sehingga mampu melebihi import tetapi lebih disebabkan karena melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan pertama tahun 2015 yang hanya sebesar 4,7 persen turun sebesar 0,3 persen dibandingkan triwulan pertama tahun lalu. Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi maka berkuranglah daya beli masyarakat akan kebutuhan barang-barang import.
Layaknya seorang yang berumah tangga, andai pengeluaran lebih besar dari pendapatan maka harus ada sesuatu yang menutup defisit tersebut. Masalahnya, defisit transaksi berjalan Indonesia lebih banyak ditututpi oleh investasi surat berharga dibandingkan investasi langsung. Bank Indonesia mencatat bahwa proporsi investasi portofolio terhadap cadangan devsia Indonesia selama tahun 2014 tercatat naik dari 11 persen pada tahun 2013 menjadi 23 persen pada tahun 2014. Kenaikan ini menunjukkan semakin lemahnya kemampuan Indonesia dalam mempertahankan rupiah andai sewaktu-waktu terjadi pelarian modal secara besar-besaran. Seketika Gubernur The Fed Jannet Yellen mengumunkan akan menaikkan suku bunga acuannya seketika itu pula investasi portofolio tersebut bisa menguap kabur kembali kenegara asalnya padahal investasi portofolio tersebut membentuk hampir 23 persen cadangan devsia Indonesia.
Masalah menjadi semakin pelik karena baik praktisi maupun ekonom yang bergelut di industri keuangan masih ragu apakah gubernur bank setral Amerika yang sekarang Jannet Yellen akan benar-benar menaikkan suku bunga acuan Amerika pada tahun ini mengingat data Amerika yang terbaru menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika pada triwulan pertama tahun 2015 yang hanya sebesar 0,2 persen lebih rendah dibandingkan ekspektasi pertumbuhan sebesar satu persen di triwulan yang sama.
Berdasarkan data tersebut, penurunan terhadap harga energi akibat kejatuhan harga minyak dunia pada tahun 2014 ternyata tidak berdampak terlalu lama terhadap pemulihan ekonomi Amerika. Namun jika kita melihat data inflasi Amerika tercatat terjadi kenaikan terhadap inflasi inti di Amerika sebesar 0,2 persen pada triwulan pertama 2015 dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan terhadap inflasi di Amerika bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk melakukan normalisasi suku bunga di Amerika.
Dari data-data tersebut para ekonom mapun praktisi dunia keuangan pun masih ragu apakah Yellen sebgai Gubernur The Fed benar-benar akan menaikkan suku buga acuan AS. Ada yang optimis terhadap kenaikan suku bunga The Fed ada juga yang pesimis dengan kenaikan suku bunga tersebut mengingat terjadi perlambatan terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika di kuartal pertama tahun 2015.
Untuk menebak arah kebijakan ekonomi Amerika tidaklah cukup hanya dengan bermodalkan instrumen atau variabel ekonomi di dalamnya. Masalah politik luar negeri juga harus diperhitungkan untuk melihat apa yang akan terjadi ke depan. Situasi ekonomi global diperkeruh dengan konflik bersenjata yang terus menerus terjadi diberbagai belahan dunia seperti di timur tengah dan Eropa timur. Jika kita kesampingkan konflik bersenjata di Timur Tengah dan menaruh perhatian khusus terhadap konflik bersenjata di Ukraina, kita akan dapati bahwa konflik bersenjata tersebut memiliki dampak yang sangat luas bagi stabilitas ekonomi dan politik global.