Malaria merupakan penyakit endemi yang mencapai 247 juta kasus dan 619 ribu kematian di tahun 2022. Terdapat lima spesies penyebab malaria pada manusia, yaitu Plasmodium (P) falciparum, P. ovale, P. malariae, P. vivax, dan P. knowlesi. Di Indonesia, insiden malaria terbanyak dengan gejala terberat disebabkan oleh P. falciparum. Meskipun terdapat penurunan jumlah kasus dari tahun 2015-2019, terjadi peningkatan angka kesakitan malaria (Annual Parasite Incidence/API) di tahun 2019. Data statistik menyatakan bahwa secara nasional, angka kesakitan malaria di Indonesia meningkat dari 0.84 menjadi 0.93 per 1000 penduduk dengan angka tertinggi di Papua.
Strategi dan penanggulangan dengan klorokuin yang awalnya menjadi terapi utama malaria kini dinilai tidak efektif akibat resistensi global, terutama oleh P. falciparum. Untuk menanggulanginya, terapi artemisinin dikembangkan dan ditetapkan kebijakan terapi kombinasi (artemisinin-combination therapy/ACT). Namun, kasus resistensi ACT kembali ditemukan dari spesies P. falciparum
Tim Malaria yang diketuai oleh Imke Maria Del Rosario Puling dengan Anggota Ahmad Azhar Marzuqi, Ni Made Alvionita Frencia Augustine, Akmal Jauhari Irfan, dan Filzatuz Zahro Ibrahim dengan bimbingan oleh Prof. Dr. dr. Loeki Enggar Fitri M. Kes Sp. ParK telah melakukan uji efektivitas dan toksisitas pada Fraksi 11 peak dari Streptomyces hygroscopicus secara in vitro yang membuktikan bahwa fraksi tersebut mampu melakukan penghambatan parasitemia pada kultur P. berghei. Fraksi juga ditemukan dosis toksisitas dan dibuktikan keamanannya, serta ditemukan juga senyawa aktif yang dapat menghambat pertumbuhan parasit tersebut sehingga dapat menjadi referensi untuk pengembangan obat antimalaria.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dengan protokol kesehatan yang ketat. Penelitian ini juga turut menggunakan Laboratorium Perlakuan Hewan Coba, Laboratorium Patologi Anatomi, dan Lab LC-MS Polinema menggunakan Fraksi 11 peak metabolit sekunder bakteri secara in vivo.
Kami berharap riset ini dapat memberikan berupa inovasi baru terapi malaria dengan memanfaatkan ekstrak metabolit sekunder S. hygroscopicus dan ampuh dalam pengentasan penyakit malaria, terutama pada malaria resisten yang tidak dapat ditangani dengan efektif oleh terapi yang sudah ada.