Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Luthfi Ramadhan

Mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya

Integrasi Manusia dan Akal dari Perspektif Islam

Diperbarui: 1 November 2024   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penggunaan akal. https://www.pexels.com/photo

Bismillahirrahmanirrahiim. Wa bihii nasta'iin.

 لولا العلم لكان الناس كالبهائم

Jika bukan karena ilmu, niscaya manusia tak ada bedanya dengan hewan.

Mahfudzat ini tentu tak asing bagi mereka yang pernah mengenyam bangku KMI. Pasalnya, kalimat ini merupakan salah satu mahfudzat awal yang dipelajari ketika kelas satu, dengan penekanannya terhadap urgensi menuntut ilmu bagi siapa saja, tak pandang bulu, selama ia menyebut dirinya manusia. Senada dengan mahfudzat ini, Aristoteles seorang filsuf Yunani kuno, mengatakan,

الانسان حيوان ناطق
Manusia, pada dasarnya hanyalah hewan yang dilengkapi dengan akal.

Dengan gamblang Aristoteles berani menyebut manusia sebagai hewan, dengan hanya satu pembeda, yaitu akal.  Lantas apa korelasi antara perkataan ini dengan mahfudzat yang kita singgung sebelumnya?

Orang yang berakal, pasti terkena tuntutan untuk terus menimba ilmu pengetahuan. Karena akal adalah salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan kepada umat manusia. Melalui akal, manusia dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, serta memilih tindakan yang sesuai dengan tuntutan nilai-nilai islam. Dimana, islam sendiri menempatkan akal sebagai aspek penting dalam kehidupan manusia. Manusia dan akal, dipandang sebagai sesuatu yang integral, tak dapat dipisahkan, serta merupakan suatu kesatuan yang tanpa salah satunya, maka tak akan terwujud sisi lainnya.

Dalam kitabnya, Allah SWT, berfirman 'Afalaa Ta'qiluun...' sebanyak tiga belas kali sebagai pemberi penegasan, betapa pentingnya penggunaan akal bagi mereka yang beriman sebagai sarana untuk menemukan kebenaran.  Bahkan tak hanya kalimat 'Afalaa Ta'qiluun...' yang digunakan, redaksi berbeda namun dengan makna serupa juga digunakan seperti 'Afalaa tatafakkaruun...' dan 'Wa fii anfusikum, afalaa tubshiruun...'

Dalam tradisi islam, akal tak hanya digunakan untuk memahami persoalan duniawi semata, namun juga untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah, baik itu dari segi moralitas maupun spiritual. Bahkan dalam al-Qur'an berkali-kali disebutkan kritik bagi mereka yang tidak memanfaatkan akalnya dalam memahami petunjuk dan mengambil Pelajaran dari kehidupan. 

Selain Aristoteles, seorang filsuf asal Prancis, Rene Descrates pernah mengucapkan kalimat yang kini menjadi landasan bagi para penganut rasionalisme zaman modern ini. 'Cogito Ergo Sum'. 'Aku ada, karena aku berpikir'. Kalimat sederhana ini, menjadi bukti bahwa tak hanya islam, peradaban barat pun menekankan pentingnya penalaran akal, bahkan meyakini bahwa eksistensi seorang manusia, dilihat dari kemampuan menggunakan akalnya.

Namun, ada satu hal yang membedakan antara sudut pandang islam dan barat dalam memandang peranan akal. Dari sudut pandang barat, akal bisa dibilang adalah segala-galanya. Mereka lebih menekankan kemampuan kognisi, lebih dari apapun itu. Sedangkan dalam konsep islam, akal memiliki batasan, ia tak dapat berdiri sendiri.

Meskipun memiliki peranan yang amat besar dalam islam, akal dianggap bukan segalanya. Ia butuh panduan berupa wahyu dan hadist agar tidak tersesat. Islam memberikan penekanan bahwa akal memiliki batasan-batasan yang tak dapat ia jangkau. Maka disinilah peran wahyu Allah sebagai pedoman. Dengan perumpamaan mata manusia adalah akal, dalam kegelapan malam tanpa adanya cahaya obor atau lampu, penglihatan manusia menjadi sangat terbatas. Obor dan lampu adalah interpesentasi dari wahyu Allah. Ia memberikan petunjuk arah dalam gelapnya malam yang tak dapat dijangkau oleh mata. Sehingga walaupun manusia dapat menalar sesuatu dengan akalnya, sumber utama bagi umat islam tetaplah Al-Qur'an dan Hadits sebagai tuntunan hidup yang benar. Dalam hal ini, dapat dikatakan, akal berfungsi untuk merenungkan dan memahami wahyu, sedangkan wahyu memberikan arahan dan batasan bagi akal.

Keberadaan akal ini, yang menjadi landasan mengapa manusia memiliki tugas dan fungsi lebih yang dimanatkan Allah kepada mereka. Banyak gambaran dalam Al-Qur'an yang menyebutkan peranan filosofis manusia, dengan adanya akal, manusia menjadi sebaik-baik makhluk ciptaan. Karena hanya manusia saja, yang dilengkapi dengan persyaratan yang diperlukan bagi pengembangan tugas dan fungsinya, yaitu mengabdi, sekaligus menjadi wakil Allah di muka bumi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline