"Sebesar apa pun tuntutan akan tingkat kelulusan, jangan sampai mengotori nilai-nilai ideal pendidikan..."
Ujian Nasional (UN) senantiasa menarik untuk diperbincangkan. Hampir semua elemen masyarakat, ikut tersita perhatiannya oleh salah satu hajat tahunan Pendidikan Nasional kita ini. Baik mereka yang langsung berkecimpung dalam dunia pendidikan, maupun mereka yang hanya memosisikan diri sebagai pengamat, senantiasa larut dalam pembicaraan rutinitas ini beserta segala sisinya.
Pertengahan April 2013, Ujian Nasional tahun ajaran 2012/2013 akan digelar. Beragam persiapan sudah dilaksanakan. Panitia Penyelenggara, baik dari tingkat satuan pendidikan (Sekolah/Madrasah/Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat/Pendidikan Kesetaraan) sampai Panitia di Pemerintah Pusat, sudah demikian sibukmenyiapkan segalanya.
Bagi satuan pendidikan (selanjutnya saya istilahkan dengan sekolah), selain melakukan persiapan penyelenggaraan, ada hal lain yang lebih menyita perhatian, yakni kelulusan peserta didik di sekolah mereka. Sehingga, menuntut mereka untuk mencari beragam strategi jitu yang dianggap mampu meluluskan peserta didik seratus persen.
Mau tidak mau, sekolah harus bekerja keras untuk meluluskan peserta didik mereka. Karena, tingkat kelulusan Ujian Nasional suatu sekolah, akan sangat berpengaruh pada prestise sekolah tersebut. Masyarakat akan menaruh kepercayaan lebih, bagi sekolah yang peserta didiknya lulus seratus persen. Sebaliknya, kepercayaan masyarakat akan terkikis oleh tingginya jumlah ketidaklulusan peserta didik suatu sekolah. Demikian pula dengan pemerintah, yang akan memberikan penghargaan lebih kepada sekolah-sekolah yang lulus seratus persen.
Sebagaimana tercantum dalam Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional (POS UN) 2013 yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, bahwa Ujian Nasional merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan suatu satuan pendidikan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Meski tidak menjadi satu-satunya syarat kelulusan seorang peserta didik, tetapi Ujian Nasional mendapat perhatian khusus dari semua kalangan. Siswa misalnya, mereka seolah akan menghadapi timbangan amal selama belajar di suatu sekolah. Yang mana, timbangan itu akan menjadi penentu, apakah mereka layak mendapatkan predikat LULUS? Sehingga meraih segala penghargaan dan jaminan masa depan. Atau sebaliknya, mereka akan terjerembab dalam keterpurukan, karena gagal menjawab soal-soal dalam timbangan amal.
Dinamika inilah, yang terkadang membuka potensi untuk melakukan berbagai penyelewengan, kecurangan dan ketidakjujuran. Semua pihak tidak ingin menjadi bulan-bulanan atasan, karena gagal menyukseskan Ujian Nasional. Siswa bertanggungjawab pada guru dan orangtuanya. Guru, harus mempertanggungjawabkan siswanya kepada kepala sekolah. Kepala sekolah, seolah mendapat tekanan dari yayasan penyelenggara atau Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Demikian seterusnya.
Hemat penulis, sebesar apa pun tuntutan akan tingkat kelulusan, jangan sampai mengotori nilai-nilai ideal pendidikan. Ujian Nasional yang seharusnya mampu menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan suatu lembaga pendidikan, jangan sampai malah menjadi ajang terjadinya berbagai pelanggaran. Terlalu menyakitkan, jika segala pengorbanan biaya, tenaga, dan pikiran yang telah dikorbankan untuk penyelenggaraan Ujian Nasional, hanya menyisakan dusta dan kepalsuan.
Di tengah bangsa kita yang sedang mengalami krisis kejujuran, sekolah harus mampu menjadi yang terdepan memperjuangkan kejujuran. Sudah selayaknya, sekolah dan seluruh komponen di dalamnya berjuang mati-matian mempertahankan kejujuran. Sehingga, dengan segala usaha yang ideal, diharapkan akan mampu melahirkan generasi yang ideal pula.
Tentu sangat tidak kita harapkan, bahwa sekolah malah mengajarkan ketidakjujuran pada peserta didiknya, hanya untuk meraih prestise kelulusan Ujian Nasional. Guru yang sejatinya menjadi tauladan utama bagi muridnya, jangan sampai ternodai oleh usaha kotor meluluskan peserta Ujian Nasional.
Kita masih berharap lebih, bahwa sekolah masih mampu melahirkan generasi penerus yang paripurna. Mereka yang memiliki kecerdasan, keterampilan, serta ketakwaan. Tentunya, hal ini bisa terjadi, jika sekolah masih berkomitmen pada nilai-nilai ideal pendidikan, salah satunya kejujuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H