Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Izzuddin

Dosen STITMA Blitar, Penikmat Kajian Filsafat, Pendidikan, dan Cinta

Manusia yang Berjuang untuk Tidak Memiliki Apa-Apa

Diperbarui: 4 Juli 2023   13:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar

Ahmad Izzuddin

"Kebahagiaan yang didapatkan dan dirasakan saat tidak memiliki apapun, merupakan kekayaan yang tidak dapat dicuri oleh siapapun". Itu merupakan gambaran yang tepat untuk menceritakan kisah perjuangan hidup beberapa orang dari 7 milyar manusia di atas hamparan bumi ini.

Disaat manusia berlomba-lomba untuk mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, mereka menganggap kebahagiaan sejati adalah kondisi dimana ketika hidupnya memiliki materi yang melimpah dan tidak pernah kekurangan hingga beberapa keturunan. Dikala sebagian besar manusia menganggap jika ketenangan hidup di masa depan harus dilakukan dengan memperbanyak investasi dan property sehingga berada dalam keadaan dimana saat sedang tidurpun dia bisa menghasilkan uang.

Namun ada sebagian kecil manusia (bahkan sangat kecil sekali kuantitasnya), yang memiliki cara pandang berbeda terhadap kebahagiaan sejati dalam menjalani kehidupan. Ia menganggap jika dunia materi merupakan belenggu yang menyebabkan manusia menjadi terikat, apabila mendapatkan membuat ia menjadi budaknya karena harus menjaganya, ingin menambah dan tidak ingin kehilangan. Kaum ini menganggap jika kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan materi seperti kemewahan, jabatan, status sosial, atau sejenisnya. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada hal yang bersifat duniawi.

Kaum ini juga meyakini jika yang bersifat material ini hanyalah tipu daya, yang memakan akan ketagihan dan yang meminumnya akan semakin kehausan, seperti ungkapan Jalaluddin Rumi "Sesuatu yang tampak di depan kita, bukanlah hakikat yang sesungguhnya. Yang tampak dari bumi hanyalah debunya, sementara dimensi dalamnya adalah emas permata." Disaat belum punya apa-apa manusia hanya menginginkan seratus, namun setelah mendapatkan yang seratus maka dia menginginkan seribu, ketika sudah mendapat seribu manusia menginginkan sejuta, begitu seterusnya sampai manusia itu mati, dan saat mereka mati semua yang dikumpulkan tidak ada yang dibawa. Fakta itu bagi orang yang berpikir mendalam dianggap sebagai proses perbudakan pada diri sendiri, karena setiap harinya digunakan untuk menuruti sesuatu yang hakikatnya semu.

Namun ada fakta berkebalikan, bagi kaum ini hidupnya digunakan bukan untuk berjuang mengumpulkan banyak harta, tetapi digunakan untuk berjuang agar tidak memiliki apa-apa. Mereka adalah orang-orang yang mapan secara ilmu pengetahuan, hatinya penuh tawakkal, pengalamannya banyak, berpikirnya mendalam, dan mengetahui intisari kehidupan.

Jika untuk hidup dalam satu hari manusia membutuhkan 2 piring nasi, maka orang-orang ini akan melakukan hal sekadarnya saja untuk bertahan hidup, seperti kata Socrates "aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan", selebihnya digunakan untuk melakukan hal yang lebih besar daripada mengumpulkan harta, yaitu memungut ilmu, mengembangkan diri, dan berjuang untuk menjadi orang yang bijaksana.

Dari sedikit manusia yang berjuang untuk tidak memiliki apa-apa, di dalamnya ada filsuf yunani, sahabat nabi sampai seorang kepala pemerintahan. Siapa saja dia? Mengapa mereka berjuang untuk tidak memiliki apa-apa? Apakah mereka mendapatkan kebahagiaan sejati dari prinsip hidup yang dijalani?

  • Socrates

Socrates hidup 970 tahun sebelum Nabi Muhammad lahir, dia dikenal sebagai orang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas kaki, dan berkeliling mendatangi masyarakat Athena, berdiskusi soal filsafat. Socrates hidup sederhana dan dicela karena makan terlalu sedikit, maka dia menjawab "Aku makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.

Socrates menganggap kebahagiaan sejati terdapat dalam kehidupan yang sederhana dan tidak tergantung dengan materi kebendaan yang berlebihan. Suatu ketika, salah seorang teman Socrates keheranan saat melihatnya di pasar sedang mengamat-amati barang-barang mewah yang dipamerkan. Ia lalu bertanya kepada Socrates mengapa ia repot-repot datang ke tempat perbelanjaan padahal tidak pernah membeli apa-apa. "Aku selalu senang datang ketempat perbelanjaan dan melihat betapa banyaknya barang yang hakikatnya tidak aku butuhkan," jawab Socrates.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline