Lihat ke Halaman Asli

Carok; Bentuk Radikalisme?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selayang Pandang

Kenapa carok menjadi budaya orang Madura? Apabila kita telusuri dari sejarah bahwa kondisi ekonomi yang sulit di Pulau Madura menyebabkan kekerasan melekat dalam kultur Madura. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan model kampung orang Madura dan arsitektur rumah yang menunjukkan kewaspadaan orang Madura akan kekerasan. Pintu rumah orang Madura hanya satu dan berada di sebelah selatan, karena orang Madura tidur dengan kepala selalu di utara. Dengan demikian, orang Madura tetap bisa mengawasi pintu rumah meski dalam keadaan tidur. Pola pemukiman taneyang lanjang menggambarkan bahwa orang Madura memberi proteksi kepada anak perempuan.

Carok ada di Madura juga disebabkan oleh feodalisme. Meminjam studi yang dilakukan oleh de Jonge, A. Latief Wiyata menjelaskan bahwa pemerasan kaum feodal kepada rakyat menyebabkan kultur kekerasan merajalela. Pemerasan tersebut termasuk praktik nabang (menyuap). Hal lain yang dianggap berhubungan dengan adanya carok di Madura adalah agama, pendidikan dan sistem kekerabatan dan pertemanan,serta tradisi remo. Ada jenis remo khusus yang disebut remo carokRemo carok adalah remo yang diadakan untuk mengumpulkan dana bagi keluarga yang ditinggal suami karena melaksanakan carok.

Pembicaraan radikalisme pada tataran budaya sangat menarik untuk dikaji dibandingkan dengan perspektif lain. Terlebih penelusuran radikalisme dari perspektif budaya seakan membawa, dan menghantarkan pada realitas ditemukannya berbagai budaya dalam masyarakat, dan orang tertentu yang dianggap akrab dengan radikalisme, sehingga sering dinilai merupakan bagian dari sistem budaya mereka.

Dalam masyarakat Madura yang dikenal istilah ”carok”, istilah itu mengacu pada cara masyarakat tersebut dalam menyelesaikan suatu perselisihan yang muncul yang dinilai memperlihatkan nuansa radikalisme di dalamnya. Realitas inilah yang menurut penulis merupakan penyebab, sehingga pembicaraan radikalisme dalam perspektif budaya sering sampai pada simpulan bahwa masyarakat, atau orang tertentu memiliki budaya radikalisme (Violence Culture) dalam dinamika kehidupannya.

Pada tataran tertentu juga muncul sebagai bentuk implikasi pemahaman budaya dilihat dari pendekatan etik, suatu pendekatan yang melihat budaya dengan menggunakan ukuran atau indikator budaya, atau nilai-nilai universal dari suatu budaya tanpa mau menyadari bahwa masing-masing budaya sesungguhnya memiliki nilai yang unik, dan bersifat parsial. Karena universalitas pendekatan etik inilah, maka dalam melihat fenomena budaya sering terperangkap pada adanya penilaian (adjusment) tentang benar-salah, atau baik-jahatnya suatu perilaku sosial dari sisi sipengamat atau sipeneliti, dan cara ini juga yang sering menjebak peneliti dalam melihat fenemona radikalisme dalam perspektif budaya.

Akan berbeda tentunya jika fenomena radikalisme dalam perspektif budaya dilihat dengan pendekatan emik maka simpulannya akan berbeda dengan pendekatan pertama tadi, karena dengan pendekatan emik akan terlihat radikalisme yang dilakukan oleh masyarakat atau etnik tertentu dalam perspektif budaya memiliki makna simbolik bagi masyarakat tersebut.

Carok jika dilihat dari pemahaman etik akan sampai pada simpulan bahwa masyarakat Madura memiliki budaya radikalisme, namun pendekatan emik memperlihatkan bahwa carok dalam pengertian dan pemahaman aslinya setidaknya mengandung lima unsur yang oleh orang Madura sangat dijunjung tinggi. Kelima unsur tersebut antara lain: (1) Tindakan atau upaya pembunuhan antar laki-laki; (2) Pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri); (3) Perasaan malu (malo); (4) Adanya dorongan, dukungan, persetujuan sosial disertai perasaan puas, dan (5) Perasaan bangga bagi pemenangnya. Meskipun kemudian carok sebagai suatu mekanisme dalam menyelesaikan sengketa dalam maknanya yang asli mengusung nilai yang dijunjung tinggi oleh orang madura dikaburkan, dan bahkan menjadi ”tuna makna” oleh ”nyelep”, yaitu suatu cara menyerang musuh dari belakang atau samping ketika musuh sedang lengah.[5]

Sehubungan dengan itu, upaya pemahaman radikalisme dalam perspektif budaya sesungguhnya telah lama dilakukan, dan telah menjadi salah satu objek dalam antropologi budaya. Pertanyaan fundamentalnya adalah apakah budaya merupakan penyebab dari radikalisme? Suatu pertanyaan yang memang tidak mudah untuk menjawabnya, namun setidaknya ada yang berpendapat bahwa jika dikaji secara kritis budaya itu sendiri bukanlah sumber radikalisme, karena budaya yang merupakan ciptaan tertinggi dari manusia pada dasarnya bertujuan meningkatkan martabat kemanusiaannya dimuka bumi.[6]

Pada awalnya perhatian para antropolog terhadap radikalisme ini berkaitan dengan sengketa yang berkepanjangan diantara kelompok, atau orang tertentu. Wright melihat rentetan tindakan radikalisme yang menjadi ciri dari sengketa ini merupakan instrumental dalam menuntut balas atau kompensasi akibat kerugian yang diderita, atau juga guna menyanjung nama seseorang, atau keluarga dari kelompok yang tersangkut dalam sengketa.

Sedangkan menurut Radcliffe Brown berpendapat radikalisme merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dianut oleh kelompok bertingkai, dan dalam kaitannya dengan kelompok bertikai, radikalisme dianggap sebagai kewajiban yang kemunculannya merupakan bentuk manifestasi dari ”solidaritas kolektif”, suatu isitilah yang mengacu pada pendapat Durkheim. Hal yang hampir sama juga, pendapat Nadel yang melihat radikalisme sebagai bentuk kewajiban untuk membalas ketidakadilan. Bahkan, yang menariknya lagi menurut Radcliffe Brown, radikalisme yang terjadi pada kelompok masyarakat yang bertikai dibenarkan oleh pendapat umum, meskipun menurut Leopold Pospisil tidak begitu jelas pendapat umum yang mana, apakah pendapat para pihak yang bersengketa, atau pendapat umum diluar masyarakat yang bersengketa. Namun lebih lanjut menurut Leopold Pospisil setidaknya pendapat umum ini adalah pendapat para pihak yang bersengketa.

Dalam kasus carok, jika ditelaah dalam klasifikasi radikalisme masuk pada ranah radikalisme tengah, dimana pada ranah ini kepercayaan masyarakat akan hukum formal (Negara) yang berlaku bukan merupakan sebuah solusi bagi selesainya persoalan yang dihadapi dan menjadi pemicu terjadinya carok. Sehingga tidak heran masyarakat mengambil jalan untuk melakukan carok sebagai solusi alternatif. Dari pelaku carok sendiri percaya dengan melakukan carok masalahnya akan selesai dan bahkan akan menjadi prestise bagi pelakunya. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum juga tercermin dengan mudahnya mereka mempengaruhi aparat penegak hukum setelah mereka selesai melakukan carok. Hukum yang seharusnya menjadi tombak terciptanya keadilan dapat dipermainkan dengan cara nabang.

Bagaimana Seharusnya? Suatu Wacana Akademik

Berdasarkan paparan diatas, sekiranya dapat dikemukakan beberapa rekomendasi sebagai suatu wacana akademik sehingga nantinya bisa menjadi solusi yang solutif dalam meredam terjadinya carok dimudian hari. Diantaranya:

1.Perlunya penyadaran kepada masyarakat Madura, dalam hal ini pelaku carok khususnya di daerah yang rawan terjadi carok untuk lebih mengedepankan musyawarah dan menggunakan akal sehat sebelum mengambil keputusan untuk melakukan carok.

2.Peran negara sangat penting terutama dalam penegakan hukum. Dalam banyak kasus carok yang terjadi disebabkan pula oleh lemahnya penegakan hukum hal tersebut terbukti masih bisanya upaya nabang (menyogok pihak yang terkait untuk merekayasa pengadilan yang tujuannya untuk mendapatkan vonis hukum ringan).

3.Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia melalui pendidikan. Banyak carok yang terjadi karena faktor SDM, hal tersebut bisa dilihat dari tingkat pendidikan para pelaku carok yang mayoritas hanya lulusan Sekolah Dasar (SD).

4.Peningkatan pendidikan muatan lokal dan global pada sekolah. Tujuannya adalah untuk menanamkan nilai pendidikan yang humanis terutama dalam kehidupan bermasyarakat.

5.Meningkatkan kualitas hidup masyarakat Madura, hal tersebut didukung dengan dibuatnya jembatan Suramadu yang dapat meningkatkan akses mobilitas sosial masyarakat dan Industri. Dari sektor industri bisa dimanfaatkan masyarakat misalnya dengan membuka usaha kerajinan souvenir khas Madura dan menjualnya seperti souvenir gantungan kunci yang berupa celurit, pakaian khas Madura, oleh-oleh khas Madura, dll. Harapannya kesan yang berkembang akan perilaku masyarakat Madura yang dikenal suka carok akan berkurang dan menjadi nilai ekonomis yang bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat Madura.

Ethik sebagai suatu konsep merupakan istilah antropologi yang untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Pike, terutama dalam antropologi bahasa yaitu phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa atau universal pada semua budaya. Kemudian oleh Pike istilah ethik tersebut digunakan untuk menjelaskan point of view dalam mempelajari perilaku dalam kajian budaya. Lihat Tri Dayakisni Dan Salis Yuniardi,Psikologi Lintas Budaya, Penerbit UMM Press Malang, 2004, hal 21. lihat juga Lexy J. Moleong,Op Cit. Hal. 55.

Sebagai contoh ketika konflik orang antara orang dayak dengan orang Madura yang terjadi di Kalimantan Barat pada penghujung tahun 2000 memperlihat stereotip yang demikian, bahkan radikalisme antar orang tersebut dipahami sebagai bentuk bangkitnya “Budaya Ngayau” pada masyarakat dayak yang berhadapan dengan “Budaya Carok” pada etnik Madura. Lebih jauh bagaimana stereotif yang keliru ini lihatJohn Bamba,”Mengayau Atau Perang? Fenomenologi Radikalisme Antar Orang di Kalimantan Barat”, Makalah untuk Seminar Dalam Rangka Kampanye Melawan Diskriminasi Ras, Orang, Agama, Jender, Xenophobia dan Bentuk-Bentuk Intoleransi Lainnya "Hindari Radikalisme. Hentikan Diskriminasi. Kita Semua Manusia" di Pontianak 18 September 2001 kerjasama Komnas HAM-Insitut Dayakologi

Sama halnya dengan konsep ethik, emics sebagai suatu konsep merupakan istilah antropologi bahasa yaitu Phonemics suatu studi yang mempelajari suara-suara yang unik pada suatu bahasa tertentu, lebih lanjut lihatTri Dayakisni dan Salis Yuniardi,Op Cit. Hal 21.Hal yang sama lihat juga Lexy J. Moleong,Op Cit. Hal. 55.

A. Latief Wiyata,Carok: KonflikRadikalisme dan Harga Diri Orang Madura, Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2002. Hal 184-185.

A Latief Bustami,“Tinjauan Buku Carok, Konflik Radikalisme dan Harga Diri Orang Madura”, Dalam Jurnal Antropologi Indonesia, 2000. Hal 67.

Michael Banton,Ethnic and Racial Consciousness, 2nd Edition, London & New York: Longman, 1997. Hal.1

T.O. Ihromi (Penyunting),Antropologi …...,Hal 75.

Ibid

Tindakan menyogok aparat hukum dengan tujuan untuk memperoleh keringanan hukuman bagi pelaku carok yang menang. Besaran uang yang digunakan untuk nabang beragm sesuai dengan kemampuan pelaku carok yang menang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline